Showing posts with label SOSIAL. Show all posts
Showing posts with label SOSIAL. Show all posts

Multiply sebagai 'Community of Practice'

Salaaam,

Di tengah banyak postingan bergenre 'sedih, kesal, dan sibuk pindahan' menyusul rencana manajemen empe menutup fasilitas jejaring sosial dan atau blogging di empe ini, saya ingin menulis tentang bagaimana saya memahami interaksi saya dengan dunia multiply sejak enam tahun yang lalu. Kesan saya tentang soc-med yang satu ini juga bisa dibaca di sini.

Saya memahami dunia multiply sebagai sebuah 'community of practice' (CoP). Istilah CoP ini pertama sekali diperkenalkan oleh Lave & Wenger (1991) saat mereka memperkenalkan satu teori belajar yang kemudian dikenal dengan istilah 'situated learning', yang menekankan bahwa proses mempelajari sebuah sesuatu tidaklah ekslusif berpusat pada diri individu seorang pembelajar, tetapi proses itu bisa berjalan dengan efektif jika dilakukan dalam bentuk berpartsipasi di sebuah CoP.

CoP secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah komunitas dimana para anggotanya berinteraksi sedemikian rupa dalam rangka belajar atau mentransformasikan sebuah pengetahuan dan atau skill atau pemahan tertentu. Sebagai sebuah komunitas, tentu ada yang telah lama menjadi anggota komunitas ini, tetapi juga ada member yang baru datang. Member yang baru datang ini kemudian secara bertahap menyesuaikan diri, dan berpartisipasi, dan berinteraksi dengan member lama yang sudah ahli.

Dalam bukunya Situated Learning, Lave and Wenger menjelaskan bagaimana mereka yang menjalin masa apprenticeship menjalani proses belajar ini melalui interaksi dengan mereka yang sudah ahli. Proses belajar yang diawali dengan partsipasi yang peripheral menuju partisipasi yang full dan legitimate sampai menjadi seorang expert di bidang yang dia pelajari.

Dunia multiply bisa dikatakan sebagai sebuah komunitas dimana para anggotanya belajar menulis. Menurut saya,inilah yang membedakan empe dengan soc-media lainnya. Ini jugalah yang membuat saya betah berlama-lama di sini, karena melalui interaksi dengan berbagai member multiply yang lain, saya bisa belajar, bertanya, berdiskusi, dan mengasah potensi menulis saya. Dan lihatlah ke sekitar kita, ada banyak penulis handal berawal dari aktivitasnya di komunitas multiply ini (walaupun sebagian yang saya kenal sudah tidak lagi aktif di empe). Saya yakin, ada banyak emper lainnya yang sekarang bersedih dengan rencana ditutupnya fasilitas blogging di empe, salah satu alasan kesedihan mereka adalah saangat mungkin karena mereka tidak mau kehilangan komunitas menulis ini.

Dalam teori komunitas, setiap anggota baru akan berproses untuk bisa diterima sebagai anggota komunitasnya. Sampai kemudian nanti dia memiliki sense of belonging terhadap komunitasnya. Saat seseorang telah memiliki rasa memiliki ini, saat itulah dia telah resmi bergabung dengan komunitas itu. Nah, fenomena inilah yang sekarang terjadi pada banyak postingan emper. Semua postingan yang bernada sedih itu adalah bukti bahwa kita memang sudah menjadi sebuah komunitas multiply yang unik. Unik, karena mayoritas kita tidak pernah bertemu, sebagaimana layaknya sebuah CoP di dunia nyata. Namun, kita bisa merasakan bahwa ada 'ikatan hati' diantara kita.

Bukankah begitu teman? :-)

Perceraian, Social Media, dan Anak-Anak Kita

Salaam,

Saya ingin berbagi tentang beberapa hikmah yang saya peroleh dari pengajian subuh di Masjid Westall pagi ini. FYI, Masjid Westall adalah masjid komunitas Indonesia yang berada di daerah Clayton dan sekitarnya. Pengajian jumat malam dan subuh pagi adalah dua kegiatan rutin yang diselanggarakan masjid ini dengan fokus pada pembahasan tafsir dan kitab Al Hikam. Jamaahnya tidak hanya berasal dari student dan PR yang berdomisili di daerah Clayton, tetapi juga didatangi oleh jamaah dari arah utara Melbourne, seperti Coburg, Brunswick, Laverton, dan lainnya.

Subuh tadi, salah seorang pembicara, Syeikh Fadhil Fahmi, membahas tafsir delapan ayat pertama surat Al-Mukminun tentang karakter orang-orang beriman yang beruntung. Diantara fokus pembahasan adalah ayat ke 5 - 7:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ


23.5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,



إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ


23.6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.



فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ


23.7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.


Yang menarik dari susunan ayat ini dibanding dengan beberapa poin sebelumnya terkait karakter orang beruntung (menjaga sholat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, dan senantias mensucikan diri mereka), bahwa Allah SWT harus menggunakan tiga ayat untuk menjelaskan 'pentingnya menjaga kemaluan/kehormatan diri'.

Dari susunan ayat ini bisa dipahami bahwa 'menjaga kehormatan' diri dalam konteks menjaga syahwat kemaluan jauh lebih berat dibanding dengan mendirikan sholat, mebayar zakat, dan seterusnya. Apalagi kita hidup di zaman yang 'serba mungkin' saat ini dimana interaksi dan komunikasi manusia antara satu dengan yang lain nyaris 'tanpa batas', maka usaha menjaga diri itu semakin menemukan tantangannya.

Menjamurnya sosial media, seperti facebook, twitter, dan lainnya membuat tantangan kita semkin kompleks. Ust. Fadhil mengutip fakta meningkatnya angka perceraian di masyarakat kita akhir-akhir ini. Di Australia angka perceraian itu 3 berbanding 2, bahwa pada setiap tiga pernikahan yang terjadi, dua diantaranya berakhir dengan perceraian.

Fenomena meningkatnya angka perceraian ini tidak hanya eksklusif terjadi di negara-negara yang notabene 'tidak mengenal Tuhan', tetapi juga terjadi di dunia muslim. Di tanah air sendiri, ada cukup banyak data dan laporan yang mengkonfirm fenomena ini.
Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), misalnya, menyebutkan bahwa pada kurun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir, dan peningkatan perkara yang masuk bisa mencapai 81%. (Bagi yang ingin tahu berbagai laporan angka perceraian ini, bisa dilihat di sini).

Tentu penyebab perceraian itu bisa sangat banyak, mulai dari alasan klise 'sudah tidak cocok' sampai pada alasan prinsipil seperti perasaan karena dizalimi atau dikhianati. Satu diantara penyebab perceraian bisa jadi adalah adanya pengkhianatan dari salah satu pasangan, berupa perselingkuhan. Siapapun pasti tidak mau dikhianati, dan jika ikatan cinta suci pernikahan itu telah ternoda oleh pengkhianatan itu, bukan tidak mungkin hidup pernikahan itu kandas di meja pengadilan agama. Na'udzubillah.

Perselingkuhan adalah tindak kejahatan pernikahan. Layaknya sebuah kejahatan, mengutip Bang Napi, tidak hanya ada karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Dan di sinilah keberadaan social media memperoleh relevansinya. Berbagai fitur canggih social media itu memungkinkan setiap manusia berinteraksi dengan pola dan cara yang revousioner. Tak jarang kemudian, bibit perselingkuhan itu terjadi melalui ruang-ruang private di social media itu. (kalau tak salah dulu Uni Dina pernah membahas hal ini dalam salah satu postingannya di empe).

Saya tidak akan membahas baik buruk perceraian. Saya berasumsi bahwa setiap orang yang menikah, umumnya berniat menikah untuk membina keluarga selamanya. Akan menjadi aneh jika ada orang menikah dengan niat untuk kemudian bercerai lagi. Karenanya, kita mesti aware dengan segala potensi yang bisa merusak keharmonisan keluarga, termasuk bahaya 'pergaulan bebas' di dunia maya.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa social media sama sekali tidak bermanfaat. Tentu sangat banyak nilai positif di sana; sarana silaturrahim dengan saudara, berbagi ilmu dan hikmah, berbisnis, memperluas network. Namun perlu diingat juga bahwa ada 'lubang semut' yang bisa membesar dan berbahaya jika tidak dikelola dengan baik.

Technology is neutral by default, and it much depands on the man behind the gun who would make it beneficial or not. Saya percaya dengan ini.

Terkait dengan potensi bahaya dalam social media, seperti facebook, penting juga sebagai orang tua untuk memperkenalkan dan mengontrol penggunaan perangkat ini kepada anak-anak kita. Dalam sebuah tulisan, M. Fauzil Azhim pernah mengingatkan agar para orangtua memperhatikan 'dinamika' status facebook anak-anak kita. Karena dengan cara itu orangtua (diantaranya) bisa mengenali dan mendiagnosis awal apa yang terjadi dengan anak-anaknya. Dia bahkan mengingatkan bahwa anak-anak kita yang kelihatan anak baik di depan kita, bisa jadi menjadi 'sangat liar' ketika sudah ada di dunia maya. (Tulisan lengkapnya bisa di baca di sini).

Melarang anak untuk tidak punya akun facebook, barangkali tidak mudah untuk dilakukan. Arahan yang benar dan kontrol yang tepat adalah diantara hal yang bisa kita lakukan. Saya sendiri menekankan kepada anak saya untuk tidak menerima request pertemanan dari seseorang yang tidak dia kenal di facebook. Alhamdulillah sampai hari ini dia mematuhinya. Saya juga rutin melihat akun facebooknya, bahkan sampai mengontrol inbox messagenya. Saya bisa melakukannya, karena saya sendiri yang setup awal akunnya, jadi tahu passwordnya. :-))

Well, mungkin kepanjangan ya. Cerita 'gak jelas' saya pagi ini. Poinnya adalah saya mengingatkan diri saya bahwa tantangan untuk membina rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah di zaman kita dibomardir oleh kemajan teknologi seperti ini tidaklah mudah, dan malah semakin kompleks. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita. Amiin.

Salaam,

Afrianto

Membangun Harapan di Tahun Baru

Oleh Afrianto Daud
(Diterbitkan sebagai Artikel Khusus di www.eramuslim.com , Senin 23 Januari 2007)


Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Helen Keller)

Barangkali tidak berlebihan kalau ada ungkapan 'harapan adalah awal dari segalanya', karena sepertinya memang hidup dan kehidupan ini dibangun di atas batu bata harapan. Tumpukan batu bata yang tersusun menjadi cita-cita dan impian tentang masa depan yang lebih baik. Dari sinilah kemudian peradaban itu dimulai. Dari segumpal harap yang tumbuh dan berkembang menjadi bongkahan impian dan kemudian melahirkan berbagai bentuk bangunan peradaban yang menjadikan hidup lebih hidup.


Dengan demikian, peradaban manusia seperti yang kita lihat saat ini tak kan pernah ada, kalau manusia itu sendiri tidak pernah memiliki harapan. Kita tak kan pernah bertemu dengan kemajuan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan seperti sekarang, misalnya, andai manusia, pelaku sains dan teknologi itu, tak berani membuat impian. Dalam konteks ini wajar kalau ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bermimpi, karena hidup seringkali bermula dari sebuah impian.

Adalah suatu hal yang tak bisa dibantah bahwa harapan adalah sumber energi kehidupan yang karenanya hidup itu bisa bergerak dan berproduksi. Kalau tidak, maka kita penghuni kolong langit ini tak lebih dari 'mayat hidup', manusia yang secara fisik masih bisa bergerak, namun ruhnya tak lagi bisa menggerakkan kehidupan. Mereka yang tak lagi mampu berharap dalam hidupnya adalah mereka yang kemudian tak mampu memahami hakekat dan memainkan peran kehidupannya sebagai manusia secara utuh.

Dalam banyak penggalan kehidupan, barangkali cukup sering kita bisa meraskan betapa dahsyatnya kekuatan harapan ini. Betapa kita pernah merasakan bahwa ada energi yang mengalir deras dalam diri kita tak kala kita sudah mampu membangun harapan. Sebaliknya, betapa kemudian kita berubah menjadi seorang yang tak berdaya, ketika kita tergoda untuk membunuh dan mengubur harapan itu dalam hidup kita.

Saya sendiri cukup sering merasakan hal ini. Harapan yang kuat untuk sembuh telah memberikan kekuatan luar biasa kepada saya untuk berjuang dan berperang melawan saki tiga belas tahun yang lalu. Tak kala banyak orang di sekitar saya talah pasrah dengan penyakit yang menggerogoti saya selama hampir 6 bulan, saya justru dengan sabar tetap menanam dan menyiangi bibit harapan untuk sembuh itu setiap detik. Ya setiap detik. Bahwa saya harus sehat. Alhamdulillah, akhirnya bait-bait doa saya dikabulkan Allah SWT saat dokter akhirnya mengatakan bahwa saya sembuh.

Harapan untuk mengecap pendidikan tinggi telah membawa saya ke banyak jalan untuk menggapainya. Terlahir dari keluarga yang sederhana (baca: miskin) tidak membuat saya takut menanam harap bahwa saya harus kuliah. Saya bisa kalau saya mau. Demikian keyakinan saya. Sampai akhirnya dengan bayak cara, Allah permudah jalan saya menjadi sarjana pertama di keluarga besar saya dan insyaallah menjadi orang pertama yang (bakal) bergelar masters di kampung kecil saya. Alhamdulillah

Bagi seorang ayah, harapan untuk membangun masa depan keluarga yang lebih baik adalah sumber energi luar biasa untuk bertahan dan sabar dalam malakoni peran sebagai seorang ayah yang kadang tak mudah. Karena harapan inilah, seorang ayah (dan juga ibu) tak peduli dinginnya suasana malam, teriknya panas mentari atau lebatnya guyuran hujan saat mereka mencari nafkah demi anak-anak mereka tercinta. Demi sebuah penghidupan yang lebih baik. Demi menggapai sebuah harapan yang sudah ditanam. Energi seperti inilah kemudian yang bisa membuat seorang bapak/ibu mampu menikmati rasa capek setelah bekerja seharian.

Bangunan Harapan Seorang Muslim
Pada skala makro, akan ada banyak sekali variable yang menjadi titik pemicu seorang anak manusia dalam membangun harapan itu. Titik-titik itu bisa bersifat material (seperti keinginan untuk memiliki harta yang banyak dan keinginan untuk berkuasa) dan juga bersifat non-material (seperti harapan untuk membahagian seseorang yang dicintai).

Pertanyaannya, sebagai seorang muslim, apa seharusnya yang menjadi motivator utama bagi kita tak kala mulai membangun harapan itu? Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam perjalanan sejarah Islam. Kalau kita teliti siroh rasul dan para sahabat dalam mendakwahkan Islam, misalnya, tak ragu kita untuk menyimpulkan bahwa harapan untuk mendapatkan ridho Allah lah yang membuat mereka menjadi seseorang yang begitu tegar mengarungi jalan dakwah yang seringkali menanjak dan berliku. Karena harapan inilah, misalnya Nabi Nuh as tak pernah berhenti menyeru ummatnya untuk menyembah Allah siang dan malam selama 950 tahun, sekalipun hanya berapa orang saja yang mau menerima seruan yang beliau sampaikan.

Karena harapan ini jugalah seorang Mushab bin Ummair tak gentar membuka ladang dakwah untuk pertama kali di kota Yastrib sendirian. Ya sendirian. Karena ini jugalah seorang Handzalah bin Abu Amir tanpa ragu meninggalkan kenikmatan malam pertama dengan istrinya tercinta dan kemudian memilih menjawab panggilan jihad yang diserukan Rasulullah SAW. Dan juga karena ini, seorang Syaid Qutb masih mampu tersenyum ikhlas penuh kemenangan pada detik-detik maut akan menjemputnya di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinannya untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim.

Akan kita temui ada begitu banyak kisah heroik dan mengagumkan dalam siroh para rasul dan sahabat ini. Kisah-kisah yang sekilas seakan utopis dan seperti hanya ada di negeri dongeng, namun kita yakin cerita tentang mereka adalah nyata adanya. Mereka adalah pelaku nyata kisah-kisah heroik dalam sejarah peradaban Islam itu. Apa yang membuat mereka menjadi tokoh-tokoh yang melegenda itu? Sekali lagi, jawabannya adalah karena mereka telah mampu membangun harapan (baca: mencari keredhaan Allah SWT).

Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali, maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik harapan sebagai seorang individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai kepala keluarga, sebagai warga negara, sebagai bagian dari kaum muslimin, dan tentu sebagai seorang hamba Allah SWT. Karena pentingnya harapan ini dalam semua dimensi kehidupan kita, wajar kalau Allah SWT mengaitkan harapan ini dengan keimanan, yaitu ketika Allah mengharamkan hambaNya berputus asa dengan nikmat Allah (QS. 39:53).

Yah, sekali lagi, harapan memang bukan segalanya, tapi dia adalah awal dari segalanya. Maka oleh sebab itu, kita tak boleh berhenti untuk berharap. Kita tak boleh kehilangan keyakinan bahwa hasil yang kita dapatkan sesungguhnya berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Dan salah satu usaha itu adalah memantapkan fondasi bangunan harapan kita.

Namun demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah lah yang berlaku di atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tak kala harapan kita tak sesuai dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan berusaha), pada akhirnya keputusan Allahlah yang berlaku. Wallahu a’lam.

* Penulis adalah presiden Monash Indonesian Islamic Society (MIIS) Melbourne Australia

Karikatur Nabi; Blessing in Disguise



Karikatur Nabi; Blessing in Disguise
Oleh: Afrianto Daud


Sudah sama-sama kita ketahui bagaimana reaksi masyarakat dunia (baca: kaum muslimin) terkait pelecehan terhadap nabi Muhammad SAW dengan dipublikasikannya 12 karikatur nabi oleh beberapa media massa di Eropa (pertama kali dipublikasikan oleh Jyllands Posten, sebuah media nasional Denmark, tanggal 30 September 2005, tapi kemudian diterbitkan ulang oleh beberapa media Barat lainnya seperti majalah terbitan Norwegia pada Januari 2006, dua surat kabar di Selandia Baru milik kelompok penerbit Australia, Fairfax Wellington's, Dominion Post dan Christchurch's Press, serta sejumlah media terbitan Perancis antara lain France Soir, media di Jerman dan lain-lain). Hampir semua kaum muslimin marah, merasa terlecehkan, bahkan merasa tertantang. Betapa tidak, karena 12 kartun itu dinilai sangat provokatif, melecehkan, menghina, membentuk opini yang jelas sangat tidak sesuai dengan sosok nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang sangat dihormati.

Bahkan, masalah kartun inipun menjadi isu internasional yang menyedot perhatian masyarakat dunia. Tak kurang para pemimpin dunia, seperti sekjen PBB, Koffi Anan, pimpinan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan para petinggi Uni Eropa (UE) beberapa kali ikut menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang kasus kartun nabi ini. Kantor kedutaan Denmark di beberapa negara diserang dan dibakar massa. Bahkan, walikota London, Ken Livingstone, ikut ambil bagian dalam puluhan ribu demonstran yang menyesalkan publikasi kartun itu (Tempo Interaktif, 11/02/2006).

Di tanah air sendiri aksi protes ini tak kalah dahsyat. Ribuan orang berdemonstrasi ke kedutaan Denmark di Jakata. Pemerintah RI telah mengeluarkan statemen resmi menyayangkan penerbitan kartun itu. Beberapa kalangan menghimbau untuk memboikot produk Denmark. Sekelompok kaum muslim di Pondok Pesantren An-Najiyah, Sidosermo, Surabaya, bahkan telah berikrar siap mati untuk membela Rasulullah dan kemudian berniat mensweeping warga Denmark di Indonesia. Puncaknya, pemerintah Denmark secara resmi (sementara) menutup kedutaannya di Jakarta.

Sebelumnya, pemerintahan Denmark, diwakili Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, sekaligus pimpinan Redaksi Jyllands Posten, Carsten Juste, meminta maaf kepada kaum Muslimin. Dalam siaran persnya, Pemerintah Denmark menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam dunia dan menyatakan sangat prihatin dengan pemuatan gambar kartun Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands Posten. Pemerintah Denmark juga mengatakan bahwa mereka mengutuk segala ungkapan, tindakan atau tanda yang berniat menghina sekelompok orang berdasarkan agama atau suku, karena hal itu suatu yang tidak dapat diterima oleh masyarakat yang saling menghormati. (Kompas, 3/02/2006)

Blessing in Disguise

Dibalik kemarahan mayoritas kaum muslimin yang diekspresikan dengan berbagai cara itu, sepertinya ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari tragedi karikatur nabi ini. Saya menyebutnya sebagai blessing in disguise, karena di balik rasa terlecehkan, saya melihat justru kaum muslimin dalam batas-batas tertentu diuntungkan.

Hikmah yang sangat jelas adalah bahwa kartun nabi yang provokatif itu, tanpa sadar telah membangkitkan ghirah kaum muslimin di seluruh dunia. Ghirah yang kemudian secara langsung ataupun tidak telah memperkuat ruhul ukhuwah islamiah atau solidaritas antar kaum muslimin. Sepanjang hidup saya, sepertinya belum pernah ada satu isupun yang menjadi sentral isu kaum muslimin di seluruh dunia selama ini. Bahkan, isu pembebasan Palestinapun sepertinya tidak menjadi concern semua masyarakat muslim. Namun, isu kartun nabi menjadi perhatian hampir seluruh kaum muslimim di manapun.

Dengan demikian, ketika semangat kebersamaan kaum muslimin terbentuk melalui kasus ini, pada gilirannya suasana ini akan memberi efek positif baik kepada kaum muslimin secara internal maupun kepada kalangan non muslim secara eksternal. Bagi kaum muslimin, kartun nabi ini adalah pelajaran berharga untuk senantiasa menyatukan barisan menghadapi segala kemungkinan buruk dari kalangan islamaphobia, kelompok non muslim yang begitu takut dengan Islam sehingga terus berusaha menyerang Islam dan kaum muslimin secara membabi buta.

Tampaknya sampai kiamat datang benturan-benturan sepeti ini akan terus berulang. Sejarah membuktikan bahwa pelecehan kaum muslimin telah terjadi berulang kali. Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika Salman Rusydie mengarang buku the satanic verses yang kontroversial itu, atau ketika para orientalis barat memperkenalkan Islam sebagai agama yang disebarkan dengan pedang, agama yang tak menghargai kaum perempuan, anti demokrasi, dan opini miring lainnya.

Secara eksternal, kasus kartun nabi telah memberikan pelajaran sangat penting kepada non muslim bahwa kaum muslimin dari dulu sampai sekarang adalah kekuatan yang tetap eksis. Islam adalah agama yang tak lekang oleh panas, tak lepuk oleh hujan. Solidaritas kaum muslimin adalah kekuatan yang sangat mungkin bisa membuat non muslim takut. Banyak mungkin orang di barat tak habis pikir, mengapa masalah “ecek-ecek” seperti ini bisa direspon sedemikian serius oleh semua kaum muslimin.

Yang paling penting adalah, sama halnya dengan pasca peristiwa 11/9, kasus karikatur nabi juga telah menjadi iklan gratis Islam kepada seluruh dunia. Semakin banyak orang di Eropa yang bertanya dan mendiskusikan Islam. Di Prancis, misalnya, Nabi Muhammad Saw dan Islam menjadi headline dan topik pembicaraan di media massa Prancis. Nama Nabi Muhammad dan agama Islam menjadi buah bibir di kalangan media massa Prancis, dan juga di kalangan masyarakat umum di sana. TV-TV di Prancis menayangkan acara diskusi kalangan intelektual Muslim dan non-Muslim tentang krisis akibat publikasi kartun-kartun Nabi Muhammad SAW, sementara stasiun-stasiun televisi lainnya menayangkan program-program dokumenter tentang peradaban Islam (Islamonline.net, 12/2/2006). Sangat mungkin fenomena yang sama juga terjadi di belahan dunia yang lain.

Ketika makin banyak orang mengenal Islam di Eropa yang selama ini sebahagian besar penduduknya dikenal sekuler bahkan atheist dengan cara menggali dan bertanya dari sumber aslinya, sangat jelas hal itu adalah proses dakwah Islam yang luar biasa. Sangat logis kemudian, kalau kita berharap bahwa seiring perjalanan waktu akan terus terjadi migrasi besar-besaran manusia dari seluruh penjuru dunia untuk memeluk agama ini. Bukankah ini Blessing in Disguise? Wallahu a’lam.

*Afrianto Daud adalah mahasiswa S2 Monash University Australia
Antara Playboy, Kartun Nabi, dan Kebebasan Berekspresi

Antara Playboy, Kartun Nabi, dan Kebebasan Berekspresi

Oleh: Afrianto Daud

Ada dua isu serius yang menyita perhatian sekaligus energi anak bangsa ini beberapa bulan terakahir. Dua isu ini menjadi topik pembicaraan banyak orang di berbagai tempat, dari kedai-kedai kopi di pinggir jalan sampai ke gedung parlemen dan bahkan istana negara. Isu pertama adalah respon masyarkat berkenaan dengan rencana beredarnya majalah Playboy di Indonesia. Yang kedua adalah reaksi masyarakat dunia (baca: kaum muslimin) terkait publikasi 12 karikatur nabi yang awalnya diterbitkan oleh media terbesar Denmark, Jyllands Posten, pada edisi 30 September 2005 yang salah satu kartunnya menggambarkan sosok Muhammad SAW dengan sangat provokatif, karena nabi Muhammad digambarkan sebagai seorang yang di kepalanya ada bom yang siap diledakkan.

Terakait dengan isu pertama, rencana penerbitan majalah Playboy versi Indonesia, mulai menjadi perhatian publik segera setelah media memberitakan pengakuan Promotion Playboy Indonesia, Avianto Nugroho, yang mengatakan bahwa mereka sudah mengantongi izin penerbitan majalah itu di Indonesia. Tak urung, rencana ini menimbulkan pro kontra yang luar biasa di tanah air. Apalagi di gedung DPR sekarang sedang alot perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Maka munculnya rencana penerbitan majalah yang dikenal sebagai majalah porno itu sangat relevan dengan perdebatan di gedung dewan dan bahkan menjadi ujian sangat awal dari RUU tersebut.

Berbagai sikap dan statement tak ayal menghiasi media massa hampir setiap hari. Pihak yang pendukung Playboy Indonesia berpendapat bahwa tak cukup alasan untuk melarang beredarnya majalah Playboy di Indonesia karena dalam sitem demokrasi yang sekarang kita miliki, kebebasan pers adalah bagaian dari kebebasan bereskspresi yang dilindungi undang-undang. Apalagi direncanakan Playboy hanya akan beredar di kalangan terbatas dengan harga istimewa yang diperkirakan tak akan mampu terbeli oleh rakyat badarai (baca: masayarakat kebanyakan).

Kelompok penentang yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, seniman, ulama, cendikiawan, politisi, pimpinan organisasi kemasyarakatn, bahkan sampai wakil presiden Jusuf Kalla angkat bicara tak bisa menerima rencana penerbitan majalah Playboy itu. Maka gelombang demonstarasi menolak Playboy pun bergulir bak bola salju. Bagaimanapun bangsa Indonesia dikenal dengan budaya khasnya yang tak bisa dilepaskan dengan niliai-nilai agama yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan “budaya baru” yang akan diperkenalkan Playboy.

Labih jauh, para cendikiawan mengingatkan bahwa kehadiran media-media semacam ini telah memberikan dampak destruktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama di kalangan anak-anak. Merebaknya kasus-kasus amoral sebagian besar dipengaruhi oleh media bernuansa pornografi. Dari aspek pedagogis, keberadaan media yang bernuansa pornografi seprti majalah Playboy diyakini akan memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak anak kita. Merebaknya perilaku penyimpangan moralitas di kalangan anak didik yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, salah satunya dipengaruhi oleh peredaran media pornografis.

Oleh karena itu, rencana penerbitan majalah Playboy harus dihentikan. Dengan dalih apapun, majalah tersebut ujung-ujungnya juga akan menyosialisasikan berbagai nilai yang menjungkirbalikkan moralitas dan mentalitas generasi penerus bangsa ini. Tidak hanya Playboy, para penduhulu majalah bernuasa sama yang sebenarnya sudah lama beredar di tanah air juga harus disikat dan dihabisi.Belum selesai isu tentang Playboy, kemudian perhatian kita tersedot kepada isu baru (yang substansinya sebenarnya sudah lama) yaitu tentang pelecehan terhadap baginda Rasulullah SAW dengan diterbitkannya 12 kartun nabi Muhamad SAW oleh Jyllands Posten, sebuah media nasional Denmark. Kemudian karikatur yang sangat melecekan dan provokatif itu diterbitkan olang oleh beberapa media Barat lainnya seperti majalah terbitan Norwegia pada Januari 2006, dua surat kabar di Selandia Baru milik kelompok penerbit Australia, Fairfax Wellington's, Dominion Post dan Christchurch's Press, serta sejumlah media terbitan Perancis antara lain France Soir, media di Jerman dan lain-lain.

Kartun tentang nabi Muhammad SAW ini kontan memicu reaksi dan kemarahan dari kaum muslimin di seluruh dunia. Aksi protes dan demonstrasi yang kadang diikuti kericuhanpun tak terelakkan. Masalah kartun inipun menjadi isu internasional yang menyedoot perhatian masyarakat dunia. Tak kurang para pemimpin dunia, seperti sekjen PBB, Koffi Anan, pimpinan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan para petinggi Uni Eropa (UE) beberapa kali ikut menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang kasus kartun nabi ini. Kantor kedutaan Denmark di beberapa negara diserang dan dibakar massa. Bahkan, walikota London, Ken Livingstone, ikut ambil bagian dalam puluhan ribu demonstran yang menyesalkan publikasi kartun itu (Tempo Interaktif, 11/02/2006).

Di tanah air sendiri aksi protes ini tak kalah dahsyat. Ribuan orang berdemonstrasi ke kedutaan Denmark di Jakata. Pemerintah RI telah mengeluarkan statemen resmi menyayangkan penerbitan kartun itu. Beberapa kalangan menghimbau untuk memboikot produk Denmark. Sekelompok kaum muslim di Pondok Pesantren An-Najiyah, Sidosermo, Surabaya, bahkan telah berikrar siap mati untuk membela Rasulullah dan kemudian berniat mensweeping warga Denmark di Indonesia. Puncaknya, pemerintah Denmark secara resmi menutup kedutaannya di Jakarta.

Sebelumnya, pemerintahan Denmark, diwakili Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, sekaligus pimpinan Redaksi Jyllands Posten, Carsten Juste, meminta maaf kepada kaum Muslimin. Dalam siaran persnya, Pemerintah Denmark menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam dunia dan menyatakan sangat prihatin dengan pemuatan gambar kartun Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands Posten. Pemerintah Denmark juga mengatakan bahwa mereka mengutuk segala ungkapan, tindakan atau tanda yang berniat menghina sekelompok orang berdasarkan agama atau suku, karena hal itu suatu yang tidak dapat diterima oleh masyarakat yang saling menghormati. (Kompas, 3/02/2006)



Kebebasan Yang Kebablasan

Menarik untuk mencermati dua kasus hot yang menjadi headline cukup lama di berbagai media ini. Ada kesamaan isu yang tak bisa dipisahkan dari dua kasus ini, yaitu terkait wacana tentang kebebasan berkespresi. Isu tentang kebebasan berekspresi ini benar-benar telah dijadikan “wahyu baru” oleh beberapa kalangan untuk melegitimasi apa saja yang mereka lakukan sekalipun ekpresi mereka itu jelas-jelas telah melanggar norma-norma yang ada di masyarakat (seperti kasus majalah Playboy), atau bahkan telah melukai perasaan kelompok lain (seperti dalam kasus kartun nabi).

Masih segar dalam ingatan kita, ketika kasus lukisan bugil artis Anjasmara dan model Isabella yang dipamerkan di sebuah pameran bikin ribut beberapa bulan yang lalu, atau ketika masyarakat menolak beredarnya filem remaja Buruan Cium Gue pada tahun lalu. Waktu itu, alasan kebebasan berekspresi juga menjadi dalil dan senjata pemungkas yang paling sering digunakan oleh pengikut “agama kebebasan” yang sudah kebablasan itu.
Dari kasus ini sepertinya kita perlu mempertanyakan dan mengkaji ulang sampai dimana sih batas-batas kebebasan berekspresi? Mungkin menarik untuk menyimak pendapat Sekjen PBB, Koffi Annan, ketika mengomentari kasus kartun nabi. Dalam pernyataan melalui jurubicaranya di New York, Annan menegaskan bahwa kebebasan pers juga harus memperhatikan penghormatan kepada semua agama. (Republika, 03/02/2006)

Saya pikir, Koffi Anan benar. Kebebasan berekspresi tidak bisa diartikan sebagi hak untuk melakukan apa saja tanpa perlu memperhatikan dampak sosial dari ekpresi itu. Kebebasan berkspresi juga tidak bisa secara sederhana dijadikan argumen untuk melegitimasi setiap kegiatan yang jelas-jelas telah menciderai perasaan kelompok lain. Dari kasus Playboy dan karikatur nabi ini kita mendapat pelajaran berharga bahwa tak bisa disangkal pemahaman sebagian kita tentang kebebasan berkespresi harus ditulis ulang. Kita tidak boleh kebablasan lagi. Wallahua’lam bissawab

* Afrianto Daud, mahasiswa program Master of Education Monash University Australia
Memahami AS Melalui Bahasanya

Memahami AS Melalui Bahasanya

Berita / Opini
Memahami AS Melalui Bahasanya
Oleh Afrianto Daud
Padang Ekpres, Senin, 06-Juni-2005, 15:52:44
10 klik


”Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian ungkapan populer yang telah kita kenal semenjak kita mempelajari bahasa Indonesia di bangku sekolah dasar dulu. Ungkapan itu berarti bahwa bahasa, sebagai salah satu pilar terpenting dalam struktur budaya sebuah masyarakat, akan merefleksikan karakter masyarakat si pengucap bahasa tersebut. Dengan demikian, bahasa bisa dikatakan sebagai identitas yang melekat erat pada komunitas penutur (asli) bahasa itu.

Amerika Serikat adalah salah satu negara penutur asli (native speaker) Bahasa Inggris, disamping negara-negara lain, seperti Inggris dan Australia. Maka, kalau kita termasuk salah seorang yang ”gemas” dengan beberapa kebijakan politik kontroversial negara adidaya Amerika Serikat, kita bisa mencoba memahami kebijakan negara yang dijuluki superpower itu dengan memahami keunikan Bahasa Inggris.

Yang paling mudah diperhatikan adalah bagaimana penulisan subjek I (saya) dalam bahasa Inggris. Dimanapun posisinya, baik di awal, di tengah, bahkan di akhir kalimat I selalu ditulis dengan huruf kapital (huruf besar). Penulisan I ini tentu berbeda dengan subjek yang lain (you, we, they, he, she, it), yang semuanya mengikuti aturan penulisan standar yang lazim digunakan huruf latin.

Bagi saya, hal ini (penulisan I yang selalu dengan huruf kapital) merefleksikan ”kepercayaan diri” yang sangat tinggi yang dimiliki bangsa Amerika. Kepercayaan diri yang kadang menjelma menjadi kesombongan dan keangkuhan. Maka dalam konteks ini, wajar saja ketika Amerika ”dihujat” masyarakat dunia dalam berbagai aksi demonstrasi yang menentang serangan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak, namun Amerika dibawah komando George W Bush tetap saja dengan ”percaya diri” memborbardir dan meluluhlantakkan dua negara yang secara militer sebenarnya sangat tidak seimbang dengan negara adidaya itu.

Bahkan, ketika dunia menyadari bahwa alasan awal penyerangan Amerika ke Irak yang mengatakan bahwa Saddam Hussen menyimpan senjata pemusnah massal (baca: bom nuklir) sama sekali tidak terbukti, pemerintah Amerika bersama sekutunya (termasuk pemerintah Inggris di bahwah komando Tony Blair dan Australia) sama sekali tidak mau mengakui kekeliruan itu. Bahkan sampai detik ini, Amerika dan sekutunya tetap dengan kepercayaan diri tinggi memperkuat cengkramannya di bumi yang dijuluki ”kota seribu satu malam” itu. Rasanya mustahil bagi kita mendengar Amerika mau mengakui kesalahannya itu, apalagi meminta ma’af kepada masyarakat dunia.

Kembali ke bahasa Inggris. Bahasa lnggris adalah bahasa dengan aturan yang tingkat inkonsitenesinya paling tinggi dibanding bahasa lain di dunia. Sebagai contoh, ketika untuk menyebut dia, bahasa Inggris memakai istilah yang berbeda, yaitu he (dia laki-laki) dan she (dia perempuan), namun untuk subjek yang lain aturan ini tidak lagi berlaku. Tidak ada beda istilah untuk perempuan atau laki-laki. Ini tentu saja sangat beda dengan aturan bahasa lain, bahasa Arab misalnya, yang sangat konsisten dengan aturan perbedaan sebutan untuk laki-laki (muzakkar) dan perempuan (muannas).

Inkonsistensi ini juga akan sangat banyak kita temui kalau kita belajar tenses bahasa Inggris. Ada begitu banyak pengecualian dalam aturan itu. Misalnya, untuk menyatakan kalimat dengan kegiatan pada masa lalu (past tense) ada aturan bahwa kita harus menggunakan kata kerja bentuk kedua yang biasanya berakhiran dengan -ed, misal I wanted to see you in the office yesterday. Namun, ternyata ada begitu banyak kata kerja yang tidak mengikuti aturan ini, dimana kata kerjanya justru berubah semaunya (irregular verbs), misal The man drove the car very fast.

Dalam konteks inkonsistensi aturan ini, sebagian orang ada yang bilang bahwa kata dan huruf bahasa Inggris paling ”munafik” sedunia. Apa maksudnya? Karena yang ditulis dan diucapkan sangat jauh berbeda. Misalnya, love (bacanya lavb- akan lebih jelas pakai fonetik simbol) atau unique (bacanya yuniq), I dibaca ai, dan seterusnya. Kemudian, hampir semua huruf tidak punya konsistensi. Misal, kenapa child dibaca chaild, sementara children tidak dibaca chaildren?

Bagi saya, inkonsistensi bahasa Inggris seperti dijelaskan di atas mempertegas dan memperjelas inkonsistensi sikap Amerika terhadap banyak hal menyangkut kepentingan masyarakat internasional. Sudah lama sebahagian masyarakat dunia komplain dengan standar ganda Amerika dalam menyikapi berbagai kasus di dunia. Amerika dianggap tidak konsisten dengan aturan dan nilai-nilai yang mereka kampanyekan sendiri, seperti isu demokratisasi, transparansi, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia.

Terkait dengan demokratisasi, misalnya, Amerika dengan bangga memproklamirkan diri sebagai negara paling demokratis di dunia. Bahkan, Amerika menganggap merekalah model ideal pelaksanaan demokrasi di jagad ini. Amerika sangat percaya bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan ideal yang harus dianut oleh setiap bangsa, maka oleh sebab itu Amerika akan selalu berada pada posisi terdepan dalam setiap proses demokratisasi di dunia. Salah satu alasan utama Amerika menyerang Irak tak bisa dilepaskan dari keinginan Amerika untuk menegakkan demokrasi ”ala Amerika” di negeri ”seribu satu malam” itu.

Namun sejarah mencatat, Amerika ternyata tidak konsisten dengan apa yang selama ini dia dengung-dengungkan. Amerika diyakini dalang dibalik ”kudeta demokrasi” yang dilakukan rejim otoriter Aljazair untuk tidak mengakui kemenagan Partai Islam FIS pada pemilu yang sebenarnya dilakukan sangat demokratis di Aljazair pada awal tahun sembilan puluhan. Pendongkelan Erbakan di Turki oleh militer beberapa tahun kemudian juga diyakini di beking kuat oleh barat (baca: Amerika), sekalipun dunia tahu bahwa Erbakan menjadi perdana mentri setelah Partai Islam “Refah” yang dipimpinnya menang mutlak secara demokratis di Turki. Ini semua dilakukan Amerika hanya kerena demokrasi menghasilkan sesuatu yang bisa mengancam eksistensinya sebagai negara adidaya.

Trus, kalau begitu kapan Amerika betul-betul menjadi pejuang demokrasi? Jawabannya sangat mudah, yaitu ketika proses demokrasi menghasilkan sesuatu yang kompatibel dengan kepentingan Amerika. Inilah di antara bukti bahwa Amerika memang ”plin plan”, alias ”muna” seperti hanya bahasanya.

Belum lagi kalau kita bicara bagaimana gaya Amerika memperjuangkan hak azasi manusia. Sangat jelas bahwa Amerika juga menerapkan double standard. Ketika beberapa relawan asing terbunuh dalam kekacauan di Timor Timur pasca jajak pendapat yang membuat Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi, Amerika langsung berang. Tak tanggung-tanggung, Amerika menuduh Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan karena tidak melindungi hak azasi manusia. Namun pada saat yang sama, dunia tahu bahwa Amerika seperti membiarkan tentara zionis Israil membunuh ribuan rakyat Palestina sampai detik ini. Bahkan, beberapa kali Amerika menggunakan hak vetonya untuk membatalkan resolusi PBB untuk mengecam kebrutalan tentara Israil yang jelas jelas telah melakukakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan mengangkangi hak asazi manusia.

Kenapa Amerika bungkam? Lagi-lagi jawabannya adalah masalah kepentingan. Sepertinya penegakan hak asazi manusia tidak berlaku bagi Amerika kalau tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya. Atau jangan jangan Amerika, karena keangkuhannya, beranggapan bahwa manusia lain di luar diri mereka bukanlah manusia yang sebenarnya, makanya tak pantas dibela, apalagi dihormati. Trus, kalau begitu apakah kesombongan dan inkonsistensi adalah karakter genetik yang telah sangat melekat dalam denyut nadi kehidupan bangsa Amerika seperti yang terefleksi dalam Bahasa Inggris- akan berlaku sepanjang hayat? Entahlah! Hanya Tuhan saja yang tahu.

*Penulis adalah dosen mata kuliah Cross Cultural Understanding STAIN Prof M Yunus Batusangkar