Oleh: Afrianto Daud
Dari beberapa istilah yang digunakan oleh masyarakat kita dalam merujuk pada kematian, seperti 'meninggal', 'sampai ajal', 'tewas, 'wafat', atau 'mati' itu sendiri, saya paling suka dengan istilah 'berpulang'.
Istilah ini langsung menukik pada substansi kematian itu sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan di dunia. Bahwa kematian bukanlah akhir perjalanan kehidupan. Dia hanyalah jembatan yang mengantarkan seseorang untuk pulang ke rumahnya, ke kampung halamannya.
Istilah ini sekaligus mengingatkan kita tentang substansi kehidupan di dunia yang sesungguhnya tak lebih dari 'negeri rantau', bukan tempat menetap selamanya. Karenanya, meminjam istilah Ibnu Al Jauzi, seorang perantau seyogianya tidak pantas menjadikan dunia itu sebagai rumah yang diimpikan. Dia hanyalah jembatan.
Setiap momen kepulangan pasti dipenuhi suasana emosional. Baik bagi mereka yang akan pergi, maupun yang ditinggalkan. Bagi seorang perantau, momen kepulangan adalah momen yang ditunggu. Kepulangan adalah momen yang dirindu. Tentu bukan pulang dengan tangan hampa. Tetapi, pulang sebagai 'perantau sukses'.
Bagi yang ditinggalkan, melepas mereka yang pulang (for good) bisa jadi akan diwarnai pelukan erat, dan isak tangis. Normal, sejak dahulu isak tangis dan sedu sedan hampir selalu menjadi bukti paling otentik yang merefleksikan cinta dan kasih sayang saat berpisah.
Namun jika kembali kepada filosopi 'berpulang' itu, maka seharusnya isak tangis itu tak boleh lama. Toh, semua kita akan berpulang, bukan?
Jika mereka yang tahu dimana rumahnya akan merindu untuk pulang, bisa jadi ada mereka yang tak mau pulang atau tak tahu jalan untuk pulang. Jika sampai pada posisi seperti ini, maka sebagai perantau kita perlu berhenti sejenak; merenungi jalan hidup tentang dimana dan mau kemana.
Jangan sampai, kita termasuk mereka yang tak mau 'pulang'. Mau atau tidak, kita pasti akan pulang, kawan.
Kita tak mau? Tapi akan ada waktunya kita akan 'dipaksa pulang'. Inilah kepulangan yang menyedihkan.
THE END!