(Dosen FKIP Universitas Riau, PhD in Teacher
Education, Monash University Australia)
Sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan sekelompok guru
menghancurkan setumpuk gawai atau telepon genggam ramai dibicarakan netizen. Konon
penghancuran telepon genggam cerdas itu terjadi di sebuah pesantern yang sejak
awal memberlakukan aturan melarang siswa membawa gawai ke sekolah. Ada pro
kontra, tentu. Sebagian netizen beranggapan bahwa praktek seperti ini sudah tak
relevan lagi di zaman dimana smartphone adalah bagian tak bisa dipisahkan dari
kehidupan sa’at ini. Sebagian lagi berpendapat bahwa apa yang dilakukan guru di
sekolah itu sudah benar. Pertama, karena memang sudah ada kesepakatan aturan
sejak awal terkait larangan membawa gadget. Kedua, karena smartphone dan
sejenisnya sering membawa dampak negatif terhadap siswa di sekolah.
Saat ini, mayoritas sekolah di Indonesia memang masih menerapkan aturan
larangan membawa mobile phone ke sekolah. Pelarangan ini biasanya berdasarkan
kekhawatiran pihak sekolah tentang bahaya gadget. Gawai semisal smartphone
memang bisa berbahaya. Dia bisa mencandu . Telepon genggam itu bisa merusak
tumbuh kembang anak secara psikis dan sosiologis. Anak-anak yang kecanduan
gadget bisa tidak konsentrasi dalam belajar . Gadget bisa sangat disruptif
selama proses pembelajaran di sekolah . Siswa bisa melakukan hal lain, semisal
mengupdate status di media sosial, ketika sedang belajar. Anak-anak usia remaja
itu bisa dengan mudah mengakses situs tertentu yang bisa jadi tak pantas dan
tak baik untuk pertumbuhan jiwa mereka.
Beberapa studi terkait dampak smartphone (dalam konteks penggunaan media
sosial oleh remaja melalui smartphone) bahkan menunjukkan bahwa akses media
sosial melalui smarthone bisa meningkatkan tingkat stress, berkurangnya self
esteem, bertambahnya rasa takut, bahkan meningkatnya angka bunuh diri di kalangan
remaja. Bayangkan jika anak-anak usia sekolah itu juga bebas mengkases
smartphone mereka selama di sekolah, maka masalah ini dikhawatirkan akan
bertambah parah. Oleh karena itu, banyak sekolah melarang siswanya membawa
smartphone ke sekolah.
Pelarangan ini tidak hanya terjadi di tanah air, tetapi juga terjadi di
banyak negara di dunia. New South Wales, Perancis, dan UK adalah diantara
negara yang tegas melarang penggunaan smarphone selama di gedung sekolah. Konsensus umum yang diterima di banyak negara
selama ini adalah penggunaan smartphone di sekolah lebih banyak membawa dampak
negatif kepada siswa ketimbang positifnya. Hal ini juga disampaikan oleh Profesor
Jean Twenge dari San Diego University bahwa penggunaan telepon pintar dan media
sosial bertepatan dengan lonjakan meningkatnya perasaan tidak berguna (feeling
of uselessness) di kalangan remaja, serta dengan menurunnya tingkat
kepuasan dan kebahagiaan mereka.
Revolusi Industri 4.0
Ketika kita masih memberlakukan pelarangan total pada penggunaan smartphone
bagi siswa di sekolah, dunia pendidikan kita juga tengah memasuki era baru yang
kita sebut era Revolusi Industri 4.0. Ini adalah zaman dimana dunia industri
mengalami perubahan dahsyat karena manusia dan mesin semakin terkoneksi melalui
jaringan internet. Salah satu ciri dari Revolusi Industri 4.0 adalah terjadinya
digitalisasi banyak proses kegiatan manusia. Digitalisasi ini tidak hanya
terjadi di dunia industri, tetapi juga di berbagai bidang yang lain, termasuk
dunia pendidikan. Maraknya program Massive Open Online Course (MOOC) di
berbagai negara adalah diantara dampak turunan dari digitalisasi pendidikan
ini. Bahwa pendidikan hari ini tidak mesti dalam bentuk tatap muka secara fisik
antara guru dan siswa di ruang-ruang kelas konvensional sebagaimana selama ini.
Proses belajar dimungkinkan dilakukan secara virtual melalui pembelajaran
daring (online).
Menjawab peluang ini, pemerintah sekarang sedang menggalakkan salah satu
pendekatan belajar aktif yang dikenal dengan blended learning. Inti dari
blended learning adalah bagaimana guru bisa mengkombinasikan
pembelajaran tatap muka konvensional (offline) dengan pembelajaran daring
(online). Pemerintah mendorong bagaimana para pendidik Indonesia bisa mengelola
pembelajaran dengan pendekatan kombinasi ini. Beberapa studi (seperti Murphy, 2002; Osguthorpe & Graham, 2003) menunjukkan bahwa
pembelajaran ‘campuran’ seperti ini efektif dalam peningkatan kemampuan siswa
dalam melakukan proses belajar mandiri, mengubah pola pembelajaran yang sebelumnya
berpusat pada guru
menjadi berpusat pada siswa (learner-centered
learning dan self regulated learning).
Sampai di sini kemudian pertanyaannya adalah bagaimana guru bisa
melaksanakan blended learning jika siswa dilarang membawa smartphone ke
dalam kelas? Siswa mungkin bisa membawa laptop atau bekerja dengan PC. Tetapi masalah
dengan laptop dan PC, selain tidak praktis karena ukuran, juga lebih banyak
siswa yang tidak memiliki laptop dibanding siswa yang tidak memiliki
smartphone. Dengan kata lain, smartphone sesungguhnya adalah media yang
praktis , efektif, dan ekonomis untuk digunakan dalam proses pembelajaran blended.
Ada cukup banyak hal yang bisa dilakukan siswa melalui smarthphone
di dalam kelas, tentu di bawah kontrol guru. Mulai dari searching
informasi tertentu terkait pembelajaran secara cepat melalui search engine,
membaca materi pembelajaran tertentu yang telah disiapkan dan diposting guru
secara online, sampai pada membuat tugas, berkolaborasi dengan siswa lain, dan
memperoleh feedback dari guru secara online melalui smartphone mereka. Penggunaan
aplikasi Google Classroom, salah satu aplikasi gratis untuk dunia
pendidikan yang dilaunching Google, adalah satu contoh sederhana bagaimana
smartphone bisa digunakan sebagai media untuk mengakselerasi pembelajaran blended
melalui perangkat telepon pintar.
Lebih Baik Dibatasi, Bukan Dilarang
Teknologi pada dasarnya adalah alat yang netral. Tergantung kepada siapa
yang memakainya. Dia bisa jadi membawa berbahaya, bisa juga memberi manafaat. Sekali
lagi, tergantung siapa yang menggunakannya. The man behind the gun does
matter. Karenanya, dalam konteks teknologi smartphone, saatnya kita
memikirkan bagamaiana pemanfaatan smartphone di kalangan siswa diatur sedemikan
rupa. Kita perlu memikirkan cara bagaimana memanfa’atkannya dengan bijak di
sekolah. Bukan dengan sama sekali melarang membawanya.
Diantara yang bisa dilakukan sekolah sekarang adalah membuat kesepakatan
dengan siswa dan orangtua terhadap penggunaan smatphone ini. Untuk keperluan
belajar seperti yang sudah dibahas di atas, siswa dibolehkan membawa smartphone
ke sekolah dengan beberapa ketentuan. Sesampai di sekolah, siswa bisa menyimpan
dulu smartphone mereka di loker tertentu yang sudah disiapkan sekolah. Saat
pembelajaran yang membutuhkan siswa mengakses smartphone, siswa bisa mengambil
kembali smartphone mereka sampai pembelajaran selesai. Setelah itu, mereka
kembali menyimpan smartphone di tempat yang sudah disiapkan, sampai waktu
pulang sekolah datang.
Pada saat yang sama, sekolah kita tentu harus melatih guru-guru mereka
untuk memiliki kemampuan menggunakan teknologi seperti gawai pintar ini dalam
proses belajar mereka. Guru zaman now adalah guru yang melek teknologi .
Guru yang memandang teknologi sebagai peluang untuk kebaikan yang lebih besar,
bukan menganggapnya sebagai ancaman. Guru-guru kita perlu terus dilatih
bagaimana mengintegrasikan teknologi ke dalam kelas mereka. Masalah akan
terjadi jika siswa dibiarkan membawa smartphone ke dalam kelas, sementara guru
sama sekali tidak berusaha menggunakannya dalam proses pembelajaran.
Selain itu, kita juga harus terus melakukan penyadaran kepada siswa tentang
bagaimana mereka bisa beradaptasi dengan teknologi secara bijak. Mereka perlu
diberi penyadaran terus menerus bahwa teknologi adalah ibarat pisau bermata
dua. Dia bisa memberi manfaat membantu pekerjaan, tetapi sebilah pisau juga bisa
membunuh. Mereka perlu diberi kemampuan bagaimana menggunakan teknologi secara
sehat. Pelatihan internet sehat kepada siswa, misalnya, perlu terus dilakukan
secara simultan.
* Tulisan ini pertama kali diterbitkan Harian Riau Pos, 29 Juli 2019.