Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini awalnya ditulis untuk harian Padang Ekspres)
Bapak rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Ganefri, menulis di harian Padang Ekspres (Selasa, 26 Sepetember 2017) dengan judul ‘Anugerah Doktor Honoris Causa’. Tulisan beliau tentu disampaikan dengan maksud memperjelas alasan universitas dan sekaligus menjawab pro kontra yang berlangsung di masyarakat Sumatera Barat, terutama diantara alumni UNP terkait keputusan UNP untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa (selanjutnya akan disingkat DHC) kepada presiden RI ke-5, ibu Megawati Sukarno Putri.
Kita tentu mengapresiasi tulisan dan atau penjelasan pak
rektor sebagai bentuk pertanggungjawaban publik terkait keputusan itu. Tulisan
itu setidaknya semakin memperjelas bagaimana alur cerita atau basis akademis
sekaligus dasar hukum pemberian gelar HDC itu. Tulisan pak rector itu bisa menjadi referensi resmi untuk menjawab pertanyaan banyak pihak,
terutama alumni UNP, yang terus bertanya-tanya, ada apa dan mengapa kampus yang
mereka cinta membuat keputusan besar ini.
Tulisan ini saya maksudkan sebagai tanggapan atas nama
saya pribadi yang pernah dididik dan dibesarkan secara akademis oleh banyak guru
saya di UNP. Hormat dan kabanggan saya terhadap para guru dan almamater tentu
tak akan berkurang. Namun, ijinkan saya berbeda pandangan dengan para
guru di UNP terkait keputusan penganugerahan DHC kepada Bu Megawati ini. Saya
sadar bahwa tulisan ini tentu tak akan bisa merubah keputusan senat UNP. Apalagi acara seremonialnya kemaren sudah selesai. Tapi, setidaknya tulisan ini bisa memberi tahu
civitas akademika UNP bahwa ada pandangan berbeda di luar sana.
Tulisan pak rektor itu memuat banyak informasi penting
terkait dengan apa itu DHC, bagaimana DHC telah dipraktekkan di banyak negara
dan universitas, serta contoh siapa saja yang telah memperoleh gelar DHC itu. Tidak
ada perdebatan sampai di situ. Apa yang bapak sampaikan bersifat informatif dan normatif. Sayang
sekali, tulisan pak rektor hanya menyebut sedikit alasan mengapa ibu Megawati
pantas dipilih dan dianugerahkan DHC. Padahal yang menjadi perdebatan di banyak
alumni (mungkin juga di masyarakat) bukanlah tentang apa itu DHC, bagaimana
sejarahnya, dan lain-lain, tetapi justru adalah tentang mengapa ibu Megawati
pantas dianugerahi DHC, dan mengapa mesti UNP.
Saya sepakat bahwa sebagai mantan presiden, ibu Megawati
adalah sosok penting yang telah berjasa dalam proses pembangunan Indonesia di
era reformasi. Beliau adalah tokoh dan politisi lintas zaman. Belau bisa bertahan dan membesarkan PDIP setelah ditekan rezim Orde Baru yang
represif. PDIP bahkan bisa mengantarkan salah satu kader terbaiknya – Pak
Jokowidodo – sebagai presiden RI. Ini tentu tak lepas dari prestasi ibu
Megawati sebagai politisi ulung. Tapi, menyematkan gelar DHC bidang (politik)
pendidikan kepada beliau telah memaksa banyak orang jadi
‘tergelitik’, untuk tidak mengatakan
‘terkagum-kagum’ dan tak percaya.
UU No.20/2003 dan Megawati
Membaca tulisan Prof. Ganefri, saya bisa simpulkan bahwa
ibu Megawati dianggap UNP sebagai individu dengan prestasi luar biasa yang
bermanfaat untuk banyak orang di bidang politik pendidikan, karena di masa ibu
Megawati lahir UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Saya membaca dua kali tulisan pak rektor, untuk mencari alasan
lain. Sepertinya inti dari basis alasan penganugerahan ini memang hanya terkait
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional ini.
Adalah benar bahwa UU Sisdiknis ini adalah sebuah produk
politik sangat penting yang melahirkan paradigma baru dalam reformasi
pendidikan nasional. Sekali lagi, adalah betul bahwa Undang-Undang ini menjadi
basis legal formal untuk melakukan banyak perubahan besar dalam sistem
pendidikan kita. Undang-Undang Sisdiknas ini, diantaranya, memuat perintah
konstitusi yang mewajibkan anggaran 20 persen untuk pendidikan, desentralisasi
pendidikan nasional, hilangnya dikotomi sekolah negeri dan swasta dalam politik
anggaran, dan juga embrio lahirnya profesionalisasi pendidikan di banyak
sektor, termasuk profesionalisasi guru dan dosen. Sebagaimana juga disebut oleh
pak rektor, UU 14/2005 tentang guru dan dosen adalah kelanjutan dari ruh UU
Sisdiknas itu.
Tak ada perdebatan sampai di poin itu. Namun, poin kritisnya, menurut saya, adalah
ketika UNP menisbahkan (baca: mempersonalisasi) lahirnya UU Sisdiknas ini
sebagai prestasi luar biasa pribadi Megawati sebagai presiden RI pada waktu
itu. Secara prosedur hukum tata negara, undang-undang adalah sebuah produk
politik bersama antara legislatif dan eksekutif. Eksekutif bisa saja mengusulkan
pembuatan undang-undang, namun usulan itu tidak akan pernah jadi undang-undang
tanpa persetujuan legislatif (DPR). Demikian juga sebaliknya. Karenanya
lahirnya UU Sisdiknas adalah sebuah prestasi dan karya bersama berbagai elemen anak
bangsa pasca reformasi yang melibatkan banyak pihak di situ. Ada pihak
pemerintah, tentu. Tapi juga ada anggota DPR, tokoh politik lain, pihak
akademisi yang menulis naskah akademis rancangan undang-undang, bahkan juga
masyarkat luas yang berhak dan telah memberikan pertimbangan dan masukan ketika
sebuah rancangan undang-undang akan dibahas.
Jika ingin melihat bagaimana posisi pribadi ibu Megawati
terkait UU Sisdiknas, barangkali akan lebih genuine kita melihat
bagaimana rekam jejak fraksi PDIP sebelum UU Sisdiknas disahkan. Kenapa PDIP?
Karena bu Megawati pada waktu itu adalah ketua umum PDIP disamping sebagai
presiden RI. Jangan lupa bahwa sejarah pengesahan Sisdiknas ini diwarnai proses
pengesahan yang alot, panas dan dramatis, karena beberapa kali fraksi PDIP
mencoba melakukan perlawanan politik, menolak beberapa substansi isi Sisdiknas,
terutama terkait pasal pendidikan agama (Pasal 12 ayat 1, misalnya). Sejarah
bahkan mencatat bahwa UU No. 20/2003 itu disahkan tanpa kehadiran Fraksi PDIP,
karena mereka meninggalkan sidang paripurna (walkout).
Walkoutnya PDIP ini tentu tidak bisa dipisahkan
dengan sosok Megawati sebagai pimpinan partai. Dari
kaca mata organisasi dan melihat kultur politik PDIP, tidak hadirnya Fraksi PDIP hampir pasti atas
perintah dan restu ketua umum. Dengan tidak hadirnya PDIP dalam paripurna
pengesahan RUU menjadi Undang-Undang bisa dikatakan bahwa PDIP dan atau Megawati
secara politik tidaklah memiliki cerita dan akar sejarah yang kuat dengan
lahirnya UU No.20/2003 itu.
Betul bahwa akhirnya Undang-Undang tetap ditandatangani
presiden. Tapi, penandatanganan undang-undang oleh presiden itu lebih sebagai
sebuah konsekwensi prosedur ketatanegaraan, bukan benar-benar genuine
sebagai bentuk dukungan kepada isi undang-undang. Terus, kemudian apakah
relevan ketika UNP menyebut nama Megawati sebagai individu yang telah memiliki
jasa dan prestasi luar biasa dalam politik pendidikan, khususnya dengan
lahirnya UU 20/2003 itu, dan menjadikannya poin penting sebagai dasar DHC? Mari
merenung sejenak, prof!
Secara legal formal dan prosedural, tentu tak ada yang
salah dalam proses penganugerahan ini. Pak rektor telah menyebutkan bahwa semua
itu sudah melalui pembahasan panjang di internal UNP, sudah mengikuti tata cara
yang telah diatur oleh Permen Ristek
Dikti-RI, No. 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan sebagai ganti peraturan Mendikbud, No 21/2013. Namun, bukankah di atas segala
aturan itu ada yang disebut wisdom (kebijaksanaan) yang sering lahir
dari common sense dan conscience. Di titik inilah banyak alumni yang merasakan bahwa seperti ada sesuatu yang tak
biasa.
Bahwa ada suasana kebatinan sebagian besar alumni dan keluarga besar UNP yang
tidak nyambung dengan keputusan ini. Jumlah yang tidak setuju bisa sangat
banyak. Pak rektor bisa turun dan tanyak banyak alumni yang tersebar di banyak
tempat, tentang bagaimana mereka merekasi berita ini.
Epilog
Apa yang saya sampaikan tentu berdasarkan
subjektivitas saya. Sebagaimana keputusan UNP tentu didasarkan subjektivitas
para pengambil kebijaksanaan dan keputusan di UNP. Dalam ranah sosial, biasanya
memang tak ada yang benar-benar objektif. Pak rektor telah memutuskan. Pak
rektor tentu sudah siap dan tahu apa konsekwensi pemberian gelar DHC ini
terhadap lembaga kita tercinta.
Walau termasuk yang mempertanyakan keputusan
ini, saya berharap bahwa keputusan ini akan membawa kebaikan kepada kampus UNP
ke depan. Kebaikan untuk memajukan pendidikan di Sumatera Barat, khusunya, dan
di Indonesia pada umumnya. Semoga asumsi sebagian alumni yang skeptis dan
menyebut bahwa penganugerahan ini lebih sebagai sesuatu yang politis ketimbang
akademis adalah salah. Semoga pak rektor makin berjaya memimpin kapal
Universitas Negeri Padang. Salam hormat dari saya, sang murid bapak. Maafkan
jika ada tutur kata yang salah. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah alumnus Universitas Negeri Padang, Dosen FKIP Universitas Riau.