Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh indonesianpride.com, 23 Februari 2017)
Jika kita memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kita dalam beberapa tahun terakhir, maka akan kita saksikan bahwa ada pembelahan yang kasat mata antara anak bangsa, terutama setelah pemilihan presiden 2014. Bangsa ini seperti terbelah pada dua kutub ekstrim yang saling menegasikan. Sisa-sisa sampah politik berupa kubu-kubuan dari pilpres itu tak kunjung bersih, bahkan cenderung kembali meningkat eskalasinya akhir-akhir ini. Fenomena ini bisa dengan mudah dilihat di halaman media sosial, dimana banyak orang masih saja saling menebar kebencian, olok-olokan, bahkan saling sebar fitnah. Akibatnya, tidak sedikit mereka yang sebelumnya berteman baik, kemudian tidak lagi saling sapa, bahkan kemudian bermusuhan. Dalam beberapa kasus, rusaknya silaturrahim itu tidak hanya terjadi antar teman baik, tetapi juga bahkan antar saudara dalam satu keluarga yang sama. Bagi sebagian orang, politik seperti telah menjadi ‘agama baru’ yang harus dibela mati-matian.
Fenomena ini tentu mengkhawatirkan. Tidak hanya karena kebencian dan permusuhan tidak akan pernah membawa kebaikan bagi siapapun, tetapi yang lebih merisaukan adalah bahwa pembelahan yang ekstrim akibat politik itu juga bisa mengancam tenun kebangsaan kita di masa depan. Permusuhan itu mengancam kebinnekaan kita sebagai bangsa Indonesia yang justru besar karena perbedaan yang terkelola dengan baik. Sebagai bangsa, kita tentu tidak ingin bahwa persatuan dan kebersamaan yang selama ini sudah kita nikmati harus hancur gara-gara pembelahan dan kubu-kubuan tak sehat di ranah politik itu. Pada contoh yang ekstrim, kita tidak ingin seperti Suriah yang berkeping. Kita juga tak mau mengulang sejarah pecahnya Yogoslavia menjadi negara-negara kecil.
Kesalahan Sistem Pendidikan?
Fenemone pembelahan di atas bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait, seperti faktor kepemimpinan yang gagal mengelola perbedaan dan memberi contoh yang baik, faktor ekonomi dimana ada pihak tertentu yang menjadikan politik kebencian sebagai komoditas yang laku untuk dijual, dan faktor sistem politik kita yang belum berhasil menciptakan kader politik yang berjiwa kenegarawanan. Namun, sebagai seorang pendidik pada tulisan ini saya ingin melihat fenomena itu dari aspek pendidikan.
Hemat saya, sepertinya fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari gagalnya pendidikan kita dalam mendidik dan membentuk mentalitas anak bangsa untuk memiliki sikap atau karakter yang bisa hidup damai dalam perbedaan. Pendidikan kita belum berhasil mengajarkan perilaku toleran dan hormat pada perbedaan itu. Sehingga perbedaan apapun, terutama perbedaan pilihan politik, sering menjadi sumber masalah. Pada saat yang sama, kita seperti belum melihat hasil pendidikan kita terkait tentang bagaimana anak bangsa bisa menempatkan jiwa kesatria saat berkompetisi: legowo menerima kekalahan dan tidak jumawa saat memperoleh kemenangan.
Akarnya adalah karena sejak lama sistem pendidikan kita mengajarkan anak didik kita untuk terus bersaing atau berkompetisi, tetapi abai mengajarkan mereka tentang sikap kesatria itu. Nuansa kompetisi itu telah terasa sejak saat pertama kita masuk sekolah, dimana dulu kita sudah harus mengikuti beberapa jenis tes, berkompetisi, mengalahkan yang lain untuk memperoleh bangku di sebuah sekolah. Suasana yang sama bertahan sampai saat kita belajar di ruang kelas, dan ketika kita akan lulus dari sekolah.
Sekali lagi, iklim kompetisi inilah yang lebih dominan kita rasakan saat kita bersekolah. Hampir setiap hari kita didorong untuk jadi juara kelas, misalnya, mengalahkan teman yang lain. Akibatnya tak heran jika, misalnya, salah satu yang sering ditunggu oleh siswa dan orangtua di akhir smester adalah tengang ‘siapa juara berapa, atau siapa rangking berapa? Kita juga terus dimotivasi untuk selalu menjadi nomor satu pada banyak keadaan: ketika kita berolahraga, saat kita belajar menyanyi, saat kita pramuka, bahkan saat kita membaca Al-Quran.
Tradisi kompetisi dalam dunia pendidikan kita tentu tak sepenuhnya salah. Karena bagaimanapun bahwa hidup memang kadang butuh berkompetisi. Kita perlu menjadi yang terbaik dan berprestasi dalam perjalanan kehidupan kita. Ada masanya kita harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kehidupan kadang memang keras. Ada yang kalah dan ada yang menang. Ada yang tersisih dan ada yang menyisihkan. Ada yang memperoleh sesuatu, dan ada yang kehilangan.
Namun, hidup tidaklah melulu tentang kompetisi. Dalam banyak kejadian kehidupan justru butuh lebih banyak kebersamaan, saling membantu, saling hormat, dan saling menjaga. Siapapun kita, sehebat apapun kita, dalam hidup kita pasti membutuhkan orang lain. Karenanya, kehidupan yang hanya sekali ini terlalu rendah jika hanya dilihat dari perspektf menang kalah. Untuk itu, proses pendidikan seharusnya tidak lagi hanya mendorong siswa untuk berkompetisi, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana menyikapi kemenangan dan kekalahan, atau tentang bagaimana agar bisa hidup bersama dalam perbedaan, termasuk perbedaan agama, ras, dan pandangan politik.
Membangun Nilai Baru
Menyikapi pembelahan yang mengkhawatirkan itu, mendesak dan perlu bagi dunia pendidikan kita untuk merespon dan melakukan penyesuaian dalam proses pendidikan kita. Salah satunya adalah dengan cara mereformasi kurikulum atau merubah cara pandang pendidikan kita di masa datang. Paradigma punia pendidikan di berbagai belahan dunia sebenarnya telah lama bergeser dari paradigma kompetisi ke paradigma kerjasama. Ini terjadi mengikuti visi pendidikan dunia yang pernah dikeluarkan oleh UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada awal tahun 2000. Bahwa pendidikan seharusnya bisa mengembangkan empat pilar pendidikan abad 21: 1) Learning to know (belajar untuk tahu/memperoleh pengetahuan); 2) Learning to be (belajar menjadi diri sendiri/membangun identitas, 3) Learning to do (belajar untuk bisa melakukan sesuatu/memilik skill untuk bertahan hidup); 3) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama).
Mengikuti paradigma pendidikan UNESCO poin ketiga (learning to live together), pada satu dekade terakhir dunia pendidikan telah mulai mengurangi iklim kompetisi dalam proses belajar. Banyak sekolah kemudian lebih banyak mempraktekkan pendekatan cooperative learning, misalnya, termasuk dalam kurikulum nasional kita. Pendekatan ini diharapkan bisa membantu siswa untuk belajar agar bisa hidup bersama, karena pendekatan ini menekankan pentingnya kerjasama antar siswa selama proses belajar. Kerjasama itu, misalnya, ditandai dengan banyaknya kegiatan yang memungkinkan siswa untuk berbagi ide dengan teman dalam kelompok kecil, dengan teman satu kelas, atau bahkan dengan teman dari kelas yang berbeda. Intinya, pembelajaran kooperatif mendidik siswa untuk bekerja dalam tim, berinteraksi, bekerjasama dengan baik dan menerima keragaman di lingkungan belajarnya untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam pelaksanaanya, tentu penting memastikan bagaimana sistem belajar kooperatif ini bisa dilaksanakan dengan maksimal dan konsisten dengan sistem penilaian dan evaluasi pendidikan. Suasana kompetisi yang ekstra ketat itu sudah harus dikurangi. Secara khusus, penting bagi para guru untuk memberi perhatian spesial pada pengembangan beberapa karakter penting dalam konteks membangun nilai dan kemampuan hidup bersama dengan orang lain itu. Pertama, sekolah harus terus kreatif mencari cara bagaimana menanamkan nilai respect (sikap hormat) pada orang lain atau pada perbedaan di sekitar kita. Respect adalah jantung atau intisari dari sikap toleran. Jika nilai ini tumbuh pada anak didik, maka saya yakin mereka akan menjadi pribadi yang siap menerima perbedaan secara dewasa. Kedua, peserta didik harus terus dituntun untuk mau berbagi (sharing) dengan orang lain. Berbagi dalam maknanya yang luas merupakan karakter indah yang akan mengurangi jiwa egosime pada diri seseorang. Ketiga, berfikir kritis. Adalah penting generasi masa depan Indonesia memiliki kemampuan ini, agar mereka bisa memilah serbuan informasi yang membanjir.
Tentu tidak hanya tiga karakter itu yang perlu dikembangkan, namun menurut saya tiga ini yang paling penting diseriusi oleh para pendidik dalam rangka mengurangi atau mencegah kembali terpecahnya anak bangsa gara-gara pilihan politik yang sebenarnya semu saja. Semoga ‘demam’ anak bangsa gara-gara virus jahat politik bisa tersembuhkan. Semoga pendidikan berperan signifikan dalam menyembuhkannya. Wallahua’lam.
* Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau.