Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan di indonesiapride.com)
Sesungguhnya pemerintahan Jokowi telah mencoba mendengarkan suara masyarakat yang keberatan dengan keberadaan UN itu. Karenanya, ketika Anies Baswedan masih menjadi menteri Pendidikan Nasional, misalnya, pemerintah telah meniadakan salah satu aturan UN terkait menjadikan UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari sekolah. Sejak tahun 2016, UN resmi digunakan lebih sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan nasional. Sementara kelulusan siswa sepenuhnya diserahkan ke sekolah.
Diharapkan peniadaan aturan ini bisa mengurangi suasana menakutkan yang selama ini menghantui banyak siswa di Indonesia. Kenyataannya, apa yang diharapkan belumlah sepenuhnya menjadi kenyataan. Karena masih sangat jelas terlihat di lapangan bahwa pelaksanaan UN di masa Anies Baswedan itu masih saja menakutkan banyak pihak: siswa, sekolah, guru, dan orangtua. Suasana sebelum dan ketika UN di sekolah belum banyak berubah – tetap menegangkan.
Ini terjadi karena masyarakat dan sekolah masih terbawa dengan suasana lama yang seakan menjadikan UN sebagai ‘hantu pendidikan’. Karenanya, suasana ‘mencekam’ masih terlihat sebelum UN dilaksanakan di banyak sekolah. Selain kegiatan sekolah sore persiapan UN, acara sejenis istighosah atau do’a akbar sebelum UN masih banya terlihat di sekolah. Istighosah dan do’a tentu baik-baik saja. Tetapi, jika itu diadakan sebagai cara melawan ketakutan akibat hawa UN yang mencekam, inilah yang kemudian menjadi isu serius.
Sebagai orangtua dengan anak yang juga sedang bersekolah di sekolah menengah, saya amati bahwa banyak orangtua tetap khawatir dengan nilai UN anak mereka, walaupun tidak lagi dijadikan syarat kelulusan. Kekhawatiran orangtua tersebut barangkali disebabkan fakta bahwa nilai asli UN ternyata justru tak kalah pentingnya dari sebagai syarat kelulusan itu. Karena di hampir semua tempat, sekolah nyaris hanya melihat hasil UN itu sebagai dasar penerimaan siswa di jenjang berikutnya. Siswa yang nilai UNnya rendah tak punya banyak pilihan untuk sekolah di tempat yang bagus, walaupun sekolah itu sangat dekat dari rumahnya. Akibatnya, sekali lagi UN tetap saja dianggap sebagai ujian yang mengkhawatirkan, membuat siswa dan orangtua stress, cemas dengan kemana anak mereka bisa menlanjutkan sekolah.
Sisi Baik Moratorium
Sekali lagi, rencana moratorium ini adalah langkah positif dari pemerintah. Menteri Muhadjir sepertinya mencoba mendengar, menjalankan dan memenuhi keputusan Mahkamah Agung pada 2009 yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2007. Dalam putusan itu, pemerintah diperintahkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh Indonesia sebagai prasyarat menjalankan UN. Ini semua diperlukan bagi pelaksanaan UN. Kalau tidak, UN akan terus menimbulkan keributan seperti yang terjadi selama ini.
Dengan demikian, pemberlakuan moratorium ini diharapkan bisa menjadi solusi terbaik dari berbagai kekisruhan akibat UN selama ini. Moratorium ini, misalnya, bisa mengurangi efek psikologis yang selama ini membebani banyak pihak selama pelaksanaan UN. Orangtua, siswa, dan juga guru tentu akan lebih lega, karena tak harus dihantui dengan beban mengejar target lulus atau nilai tinggi pada UN sebagaimana yang terjadi selama ini.
Moratorium ini diharapkan juga bisa mengembalikan suasana belajar menjadi lebih manusiawi di dalam kelas dimana guru bisa mengajar sesuai dengan metode pengajaran yang diamanahkan di dalam kurikulum, tidak lagi kelas yang mati karena lebih banyak dipenuhi oleh kegiatan drilling cara menjawab soal UN, sebagaimana yang selama ini terjadi. Guru juga diharapkan bisa mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang, melakukan penilaian secara komprehensif, dan memberikan penghargaan kepada setiap siswa sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.
Lebih jauh, moratorium ini tentu juga bagus bagi pemerintah sendiri dalam hal alokasi dana pendidikan nasional. Anggaran UN yang selama ini bisa menghabiskan uang negara lebih Rp. 560 miliar setiap tahun itu bisa diperuntukkan untuk perbaikan infrastruktur dan fasiltas sekolah, terutama untuk sekolah-sekolah di daerah terpencil. Pemerintah juga bisa mengalokasikan anggaran itu untuk peningkatan kesejahteraan guru (terutama guru honorer), pengembangan profesional guru, dan juga program pendampingan khusus bagi sekolah yang termasuk kategori sekolah di bawah standar nasional.
Jika pemerintah benar-benar melakukan usaha pemerataan kualitas pendidikan nasional melalui program pengadaan dan perbaikan fasilitas sekolah sampai pelosok negeri, kemudian pada saat yang sama terus melakukan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan dan kualitas para pendidik, maka pada waktunya Ujian Nasional bisa kembali dilaksanakan, tentu dengan aturan-aturan baru yang bisa disesuaikan kemudian.
Tantangan Moratorium
Selain menjanjikan hal-hal yang baik untuk pendidikan nasional kita, rencana moratorium UN ini juga berpotensi mendatangkan masalah baru. Tantangan terbesarnya, menurut saya, adalah dalam hal sistem evaluasi pengganti dari ketiadaan UN. Dari paparan bapak menteri diketahui bahwa pemerintah akan menyerahkan evaluasi akhir siswa di sekolah menengah kepada pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kota untuk ujian akhir SD. Pertanyaannya, seperti apa sistem ujian akhir di tingkat provinsi. Apakah akan mirip seperti UN yang high stakes itu atau bagaimana. Ini yang belum dijelaskan pemerintah. Jika yang berubah hanyalah pelaksanannya saja, dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan kota, sementara bentuk soal, kegunaan ujian masih sama dengan UN, tentu moratorium ini sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah UN selama ini. Ini belum lagi menyebut tantangan dari sisi kesiapan daerah dalam melaksanakan ujian di tingkat daerah masing-masing.
Menurut saya, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa apapun bentuk ujian atau sistem evaluasi yang dilaksanakan pemerintah daerah nantinya ketika moratorium, ujian yang dilaksanakan haruslah tetap fokus pada penggunaan hasil ujian sebagai pemetaan kualitas (quality mapping) saja. Dalam konteks ini, pemerintah perlu membuat aturan yang tegas bahwa nilai ujian itu tidak boleh dijadikan dasar penerimaan siswa pada jenjang berikutnya. Inilah model ujian yang dilaksanakan di beberapa negara maju, seperti Australia, dimana hasil ujian siswa tidak digunakan sebagai basis penerimaan siswa di jenjang beikutnya, tetapi lebih sebagai quality mapping.
Kemudian, pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan rayon untuk penerimaan siswa baru. Bahwa siswa melanjutkan pendidikan pada sekolah yang paling dekat dengan domisilinya. Ini penting agar semua siswa dipastikan bisa memperoleh sekolah untuk kelanjutan pendidikannya sebagaimana semangat wajib belajar 12 tahun yang sedang kita lakukan. Pemerataan fasilitas dan kualitas antar sekolah tentu dengan sendirinya akan mengurangi keinginan siswa tertentu untuk menyebrang ke sekolah di luar rayonnya.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah bisa mensosialisasikan kebijakan baru ini secara efektif kepada seluruh stakeholders pendidikan. Jangan pernah ada kebingungan atau keterkejutan pada pihak tertentu yang bisa memperlambat pelaksanaan moratorium. Jangan sampai niat baik moratorium justru menjadi kegalauan baru bagi insan pendidikan di tanah air, karena ketidakjelasan segala sistem pelaksanaanya. Tetapi, jika semua hal sudah direncanakan dengan matang. Saya ucapkan ‘Selamat Datang Moratorium Ujian Nasional!’ Semoga menjadi awal yang baik untuk perbaikan pendidikan nasional kita di masa yang akan datang.
* Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau, Doktor Ilmu Pendidikan di Monash University Australia)
* Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau, Doktor Ilmu Pendidikan di Monash University Australia)