Tak lama setelah pelantikannya sebagai mentri baru di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet hasil reshuffle jilid 2, Prof. Muhajir Effendi segera bekerja menjalankan amanahnya memimpin operasional pendidikan nasional. Selain mengingatkan pentingnya spirit ibadah dalam bekerja di jajaran kementriannya, dan pernyataannya tentang pentingnya untuk terus meningkatkan kualitas pendidik sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum, beliau juga mulai mengkomunikasikan beberapa rencana programnya ke publik. Salah satu yang mendapat respon luas dari masyarakat (terutama netizen) beberapa hari belakangan adalah ide yang beliau sampaikan tentang perlunya Indonesia menerapkan sistem full day school (sekolah sehari penuh). Kemendikbud belum menyatakan secara spesifk berapa jam persisnya siswa akan berada di sekolah. Namun, diperkirakan akan berkisar antara 8-9 jam. Menyikapi pro-kontra itu, kemaren Prof. Muhajir menyatakan bahwa ide FDS ini akan dibatalkan, jika mendapat banyak penolakan.
Terlepas dari pernyataan terbaru pak menteri
tentang rencana pembatalan ide ini, tulisan ini akan mengeksplorasi beberapa
catatan kritis terkait full day school
(FDS). Tulisan ini diharapkan menjadi tambahan perspektif dalam menilai dan
mengambil keputusan tentang perlu atau tidaknya FDS di Indonesia untuk saat
ini. Sebenarnya ide tentang FDS di tanah air bukanlah hal yang baru. Beberapa
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) bahkan sudah lama menerapkannya. Saya
sendiri pernah bekerja di sebuah yayasan pendidikan yang memiliki FDS. Saat
ini, salah seorang anak saya bahkan juga sedang bersekolah di sebuah sekolah
madrasah/sawasta yang menerapkan sistem sekolah penuh hari ini. Sejauh ini saya
perhatikan tidak ada resistensi dari pihak orangtua.
Walau bukan hal yang baru, rencana bapak mentri ini penting
untuk dikaji dan memang layak dikritisi secara terbuka. Apakah keberhasilan
beberapa SDIT dalam FDS bisa jadi referensi untuk kebijakan secara nasional? Jika
wacana ini pada akhirnya menjadi kebijakan yang mengikat ratusan ribu sekolah
sekolah dasar dan menengah di tanah air, maka dia tentu akan berpengaruh pada
banyak pihak. Tidak hanya siswa di sekolah, tetapi juga guru, orangtua,
termasuk masyarakat secara umum dengan segala keunikan masalahnya. Pengaruh itu
bisa positif ataupun negatif.
Ide Baik, Butuh Kajian Dalam
Membaca alasan-alasan yang dikemukakan oleh pak menteri, saya
bisa memahami political will pak menteri.
FDS tentu ide yang baik, agar anak-anak bisa fokus belajar dan menghabiskan
waktu di sekolah, sampai orangtua mereka bisa menjemput mereka di sore hari
setelah orangtua pulang kerja. Ini tentu praktis bagi orangtua. Terutama
orangtua yang bekerja kantoran di daerah urban dengan jam kerja hampir sama
dengan jam belajar anak di sekolah, jika sekolah full day. Disamping itu,
sekolah bisa mengefektifkan proses pelajaran tambahan di sekolah saja, seperti
kegiatan bimbingan atau kursus yang biasanya dilakukan siswa di sore hari di
berbagai lembaga di luar sekolah.
Namun, ada beberapa catatan penting yang wajib menjadi
perhatian pemerintah. Pertama, jangan
lupa bahwa orangtua siswa itu tidak hanya terdiri dari mereka yang kerja
kantoran, tetapi juga ada jutaan orangtua di pedesaan yang bekerja sebagai
petani dan nelayan. Tidak bisa dipungkiri bahwa orang tua jenis kedua ini
kadang membutuhkan kehadiran anak mereka sepulang sekolah untuk menemani mereka
bekerja di sawah atau di ladang (untuk tidak mengatakan membantu pekerjaan
mereka). Saya tentu mengerti bahwa tugas utama anak-anak usia sekolah itu
seharusnya adalah belajar. Tetapi, adalah fakta bahwa karena masalah ekonomi,
ada jutaan anak yang terpaksa ikut membantu orangtuanya bekerja mencari nafkah.
Ini adalah Indonesia dengan segala kompleksitas latar sosial masyarakatnya,
yang tidak bisa disamakan dengan negara maju seperti Finlandia yang menjadi
inspirasi bapak menteri terkait ide FDS.
Kedua, tantangan terbesar kebijakan FDS ini adalah bagaimana pihak sekolah bisa menciptakan suasana belajar yang kondusif di sepanjang hari itu. Suasana belajar yang dinamis, menantang, tetapi sekaligus menyenangkan. Lingkungan belajar yang kondusif ini penting agar peserta didik tidak merasa stress atau tertekan dengan berbagai tugas dan kegiatan belajar yang membosankan dalam kurun waktu yang panjang itu. Bukankah diantara masalah pendidikan nasional kita selama ini adalah adanya indikasi bahwa peserta didik kita merasa berat dan terlalu dibebani oleh target-target kurikulum yang cenderung ambisius? Jangan sampai-sampai kuncup-kuncup generasi kita itu layu karena suasana belajar yang tidak menggairahkan jiwa mereka selama FDS.
Dalam konteks kekhawatiran kita terhadap
kemampuan sekolah untuk menciptakan suasana belajar yang efektif dan
menyenangkan, kita juga perlu mengkaji kesiapan para guru dalam menjalani tugas
sebagai pendidik selama FDS ini. Tantangannya tidak hanya bagaimana mereka bisa
produktif dan efektif selama proses pembelajaran, tetapi juga bukankah para
guru itu adalah juga orangtua pada saat yang sama? Saya khwatir kebijakan FDS
akan menambah beban para guru yang sudah dibuat lelah dengan berbagai kewajiban
yang telah mereka lakukan selama ini. Jangan sampai para guru kita kemudian berperan
ganda sebagai ‘babysitter’ di sore hari di sekolah mereka, dan tak lagi punya
waktu menjadi ‘babysitter’ anak kandung mereka sendiri di rumah.
Ketiga, yang juga tak boleh dilupakan adalah bahwa peserta didik juga punya hak untuk bersosialisasi dan mengekplorasi lingkungannya. FDS dikhawatirkan akan semakin meminimalisir kemungkinan anak-anak usia sekolah itu untuk bergaul dengan dunia di sekitar mereka. Mereka akan kehilangan waktu untuk bermain dan mengekplorasi alam sekitar, seperti yang dulu saya nikmati saat menjadi siswa SD di kampung saya. Mereka akan kehilangan keindahan masa kecil saat bisa bermain kelereng dengan teman sebaya, bermain bola di lapangan dekat rumah di sore hari, mencari burung di semak-semak di sekitar kampung, atau mandi di kali ketika pulang sekolah. Lebih jauh, FDS ini berpotensi menjadikan anak-anak kita menjadi asosial, karena waktunya kemudian habis hanya di sekolah dan di rumah saja.
Keempat,
pentingnya juga dikaji tentang dampak FDS ini pada kegiatan
belajar informal yang dilakukan sebagian siswa di luar sekolah pada sore hari.
Pada kegaiatan belajar mengaji di TPA, misalnya, atau pada berbagai jenis
kursus yang dipilih siswa sesuai dengan bakat mereka. Secara bisnis dan
ekonomi, FDS ini mengancam eksistensi ribuan TPA, lembaga Bimbingan Belajar,
kursus ketrampilan, dan sejenisnya di Indonesia. Bisa jadi, kelompok inilah
salah satu yang keberatan dengan kebijakan sekolah sehari penuh ini, karena
mengganggu jalannya roda usaha mereka.
Memperhatikan beberapa poin di atas, sepertinya
ide baik pemerintah ini memang perlu didahului dengan kajian mendalam dan
komprehensif sebelum dilempar ke publik atau sebelum dijadikan keputusan.
Memulai dengan beberapa sekolah pilihan sebagai pilot project barangkali adalah salah satu solusi bijak. Kebijakan
berbasis riset dengan data yang sohih adalah poin penting lainnya, agar
anak-anak didik kita tidak terus menjadi ‘kelinci percobaan’ dari sebuah rezim
yang terus berubah. Wallahu’alam.
Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau, alumnus Fakultas Pendidikan Monash University Australia
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh Riau Pos, 24 Agustus 2016)
Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau, alumnus Fakultas Pendidikan Monash University Australia
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh Riau Pos, 24 Agustus 2016)