Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk harian Republika)
Tulisan Jokowi berjudul ‘Revolusi Mental’ yang diterbitkan di
halaman opini harian Kompas (10/05/2014) ramai dibicarakan para netizen di
ruang sosial media pada empat hari terakhir.
Beragam tanggapan bermunculan. Para pemuja Jokowi merepost tulisan tersebut
di halaman facebook atau mentwitkan linknya di akun twit mereka dengan beberapa
tambahan kalimat bernada kampanye. Mereka seakan ingin menjawab keraguan sebagian pihak tentang sang calon presiden terkait
visi misi Jokowi dalam memimpin Indonesia masa depan. Tulisan Jokowi juga dijadikan momentum untuk menunjukkan bahwa Jokowi adalah
seorang intelektual yang juga bisa bermain di level wacana, layaknya para
akademisi.
Pada saat yang sama, tulisan itu
ditanggapi berbeda oleh sebagian yang lain. Sebagian diskusi
di media social bahkan cendrung keluar dari
substansi tawaran ide Jokowi dalam tulisannya itu. Perdebatan justru mengarah
pada orisinalitas tulisan Jokowi, apakah benar dibikin oleh Jokowi sendiri atau
justru ditulis oleh tim suksesnya atau malah menggunakan jasa para ghost writer. Saya termasuk yang awalnya
berpikir hal yang sama. Apalagi ada tulisan dengan judul
yang sama (dengan konten mirip) yang ditulis saudara Benny Susetyo di harian Sindo pada hari yang sama.
Diterbitkannnya tulisan Jokowi di media
nasional kelas atas, Kompas, tentu memiliki nilai tersendiri. Mereka yang
bergelut di dunia kepenulisan tentu paham bahwa tidak mudah menembus kolom
opini surat kabar dengan tiras pembaca terbesar sejenis Kompas. Hanya mereka
yang memiliki nama dengan ide genuine dan ditulis dengan struktur yang
baik yang biasanya lolos di meja redaksi opini Kompas. Tulisan saya pernah
diterbitkan Kompas. Namun jauh lebih banyak ditolak oleh dewan redaksi.
Biasanya dengan alasan bahwa ide yang saya tulis sudah banyak dibicarakan. Dan
Jokowi secara ‘ajaib’ melewati semuanya, ketika tulisannya muncul dengan judul
mentereng ‘revolusi mental’. Teka teki itu kemudian terjawab saat Jokowi kepada
media kemudian mengakui bahwa adalah benar jika tulisan itu tidak langsung
ditulis oleh dirinya, namun dia terlibat langsung dalam proses pembuatan ide
tulisannya (Tempo, 11/05/2014).
Walaupun sebagian orang menggangap bahwa
adalah tidak etis menulis atas nama diri sendiri namun dengan memakai tim
asistensi seperti yang diakui Jokowi, pengamat politik dari Universitas
Indonesia, Andrianof Chaniago, seperti dikuti Tempo pada hari yang sama beranggapan
bahwa tidak ada yang salah dalam proses penulisan seperti itu, karena ide
tulisan katanya orisinil dari Jokowi.
Tulisan saya ini tidak bermaksud memperpanjang
debat tentang etika penulisan opini di surat kabar dengan menggunakan jasa
pihak lain, semisal ghost writer, saya mencoba menanggapi dan atau
memberikan ulasan pada tulisan yang dianggap sebagai bagian visi misi calon
presiden PDIP ini.
Jokowi, on the right track
Terlepas dari siapa yang bekerja membuat itu
tulisan, pemikiran yang ditulis atas nama Jokowi itu pantas diappresiasi. Jokowi
telah berusaha menjawab keraguan sebagian pihak selama ini yang mengatakan
bahwa dia adalah calon presiden yang miskin gagasan. Mereka yang tidak suka
dengan Jokowi, kadang menyebut Jokowi dengan sarkastis sebagai pemimpin yang
‘hanya’ bisa blusukan. Sebagian politisi bahkan membullinya
dengan plesetan raisopopo, sebagai tandingan jargon yang dia populerkan,
akurapopo. Dengan demikian, tulisan itu bermakna penting bagi para
pemilih rasional yang lebih tertarik pada isu abstrak seperti program kerja,
visi misi, dan manifesto politik.
Sekali lagi, untuk kepentingan pendidikan
politik, berkampanye di level wacana ini mutlak diperlukan oleh calon pemimpin.
Saya percaya bahwa apa yang kita saksikan dalam kehidupan nyata sesunggunya
pertama kali diciptakan di level abstrak dalam bentuk gagasan dan wacana itu.
Indonesia yang kita dapati hari ini, dalam batas tertentu, sesungguhnya
Indonesia yang digagas dan diperdebatkan bentuknya secara abstrak oleh
tokoh-tokoh pemimpin kita di masa lalu, semisal gagasan Sukarno, Hatta, Natsir,
Sukarni, BM Diah, dan banyak lagi tokoh lainnya. Karenanya, adalah wajib bagi
seorang tokoh yang saat ini diprediksi sebagai salah seorang calon kuat
presiden Indonesia ketujuh ini untuk bisa mengartikulasi gagasan Indonesia masa
depannya dengan baik kepada publik.
Apalagi kalau dihubungkan dengan tagline Indonesia
Hebat yang digunakan oleh PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi saat
kampanya pemilihan legislatif yang lalu, tawaran gagasan ini menjadi sangat
relevan. Jokowi dan atau PDIP harus mampu mengkomunikasikan tawaran idenya
terkait bagaimana kita bisa keluar dari segala carut marut kehidupan sebagai
bangsa, baik sebelum orde reformasi maupun setelah menjalani reformasi selamai
lebih kurang 16 tahun terakhir. Tentu bukan sembarang ide, kita berharap ada
ide baru, segar dan cemerlang sebagai anti tesa yang sudah ada. Sehingga
tawaran Indonesia Hebat melalui Jokowi sebagai presidennya bisa
meyakinkan publik bahwa kita benar-benar bisa berubah secara revolusioner
seperti yang tersirat dalam tulisan Jokowi.
Revolusinya dimana?
Sedikitnya saya dua kali membaca tulisan sang bakal
calon presiden ini, mencoba menelusuri wacana yang dia sampaikan. Saya tentu
setuju dengan berbagai ketidakberesan atau paradoks pelik yang disebut Jokowi
dalam tulisannya itu. Bahwa setelah hidup di alam reformasi dengan empat
presiden, dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga
Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai bangsa kita masih bergelut dengan persoalan
korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, kecenderungan menggunakan kekerasan
dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sebagainya. Benar bahwa ditengah
kemajuan ekonomi dan demokrasi yang kita rasakan, kita masih belum bisa keluar
dari beragam permasalah itu.
Adalah benar juga, bahwa reformasi kita
barangkali baru sebatas reformasi institusi dan konstitusi, belum sampai pada
aspek abstrak semisal identitas, karakter, atau mentalitas. Dan untuk itulah
kita memerlukan cara baru yang tidak biasa agar keluar dari masalah itu. Cara
baru itu dalam tulisan Jokowi disebut dengan ‘revolusi mental’.
Penggunaan kata revolusi dalam tulisan Jokowi memang ‘eye-catching’ dan seperti menjanjikan sesuatu yang spesial. Karenanya, sekali lagi, secara alamiah saya berharap menemukan tawaran ide yang benar-benar revolusioner dalam tulisan itu. Sayang sekali, saya tidak menemukan apa yang saya cari.
Tawaran revolusi mental Jokowi dalam
tulisannya sepertinya hanya mendaur ulang konsep dan wacana lama yang selama
ini sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Jokowi misalnya mewacanakan
kembali aktualisasi konsep Trisaktinya Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 -
”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara
ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Dalam
ideologi dan pemikiran pengikut Sukarno, konsep ini tentu bukanlah hal yang
baru (untuk tidak menyebut ‘usang’).
Selain itu, walau tidak disebut dalam tulisan,
pada beberapa wawancara dengan media Jokowi juga menyebut bahwa untuk bisa
maju, kita juga harus mulai dari perubahan cara berfikir, atau mindset.
Saya setuju dengan ini. Tapi sekali lagi, ini sudah banyak dibahas dalam
berbagai sesi pelatihan, kelas, dan perkuliahan. Konsep perubahan mindset ini
pertama kali populer setelah buku Seven Habits of Highly Effective People karya
Steven R. Covey laku manis di pertengahan tahun 1990an. Salah satu kutipan Covey yang terkenal adalah”If you want small changes work at your
behaviour but If You want quantum leap changes, work at your paradigm.” (Bila anda menginginkan perubahan yang kecil, garaplah perilaku Anda. Namun bila Anda menginginkan perubahan yang besar dan mendasar, garaplah/ ubahlah paradigma Anda). Dan saya juga mendengar pemikiran yang
sama banyak dikutip oleh calonpemimpin lain, selain Jokowi.
Kembali ketulisan Jokowi, dalam menjelaskan dari mana kita memulai revolusi
mental, Jokowi menyebut bahwa kita bisa memulainya dari diri sendiri, lingkungan terkecil kita, sampai lingkungan yang lebih besar. Konsep ini sederhana dan mengandung banyak kebenaran. Namun,
lagi-lagi saya tidak menemukan ide baru yang revolusioner dalam gagasan perubahan Jokowi. Kurang lebih, apa yang disampaikan Jokowi seperti mengulang konsep 3Mnya Abdudullah Gymnastiar – Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai Saat ini.
Karenanya, ijinkan saya bertanya, ide baru tentang revolusi mentalnya dimana pak Jokowi?
Wallahu’alam.
*Penulis adalah Kandidat PhD di Fakultas Pendidikan, Monash University Australia