Oleh:
Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 14 September 2013)
Tulisan ini tidak
bermaksud menambah daftar bullying pada
Vicky secara pribadi, tidak juga dimaksudkan untu mengupas sisi kehidupan
pribadi Vicky. Apalagi saya memang tidak pernah mengenal nama ini sebelumnya.
Tulisan ini lebih akan menyorot dan menganalisa ada apa di balik fenomena gaya
bahasa Vicky dan apa hubungannya dengan proposisi yang disampaikan Philipson
(1992) dalam bukunya berjudul linguistic
imprealisme.
Secara ekonomi, pengajaran
Bahasa Inggris adalah bisnis yang
besar. Jutaan dolar mengalir ke negara produsen material pengajaran Bahasa
Inggris (USA, UK, Australia) dalam bentuk pembelian materi audio-visual, buku,
sumber daya manusia dan lain-lain. Dan secara budaya, ‘negara importir’ bahasa
Inggris ini juga terus mencengkramkan kukunya dalam beragam bentuk di negara
pengguna Bahasa Inggris.
Di lapangan,akibat dari imprealisme baru ini bisa
dilihat dari fenomena ‘penyikapan khusus’ masyarakat dan atau pemerintah
terhadap eksistensi Bahasa Inggris dan pengajaran Bahasa Inggris di banyak
negara non-english speaking countries, termasuk
Indonesia. Sebagaimana kita tahu, dari sekian banyak bahasa asing, bahasa
Inggris telah dipilih dan ditetapkan menjadi pelajaran wajib di sekolah
menengah kita sejak kita merdeka.
Penggunaan bahasa
Inggris telah menyerbu keseharian kita, mulai dari penggunaanya pada nama
hotel, pusat perbelanjaan, sampai pada kosa kata yang digunakan masyarakat kita
dalam keseharian. Bahasa Inggris juga dengan sadar digunakan dalam berbagai
acara radio, tivi, surat kabar, dan bahkan di dunia pendidikan kita.
Adalah wajar jika kita
mengganggap kemampuan berbahasa Inggris adalah penting, karena kita tidak bisa
menolak fakta bahwa bahasa Inggris adalah bahasa global yang akan kita butuhkan
pada banyak kesempatan. Kita tentu juga berkepentingan untuk masuk dalam lebih
dari 1,8 milyar orang yang berbicara bahasa Inggris di dunia saat ini. Karena
pentingnya Bahasa Inggris ini, bahkan negara maju sekelas Jerman-pun juga mulai
memasukkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai bidang studi wajib di sekolah
menengah mereka sejak tahun 2012.
Masalahnya adalah,
kampanye pentingnya bahasa Inggris ini sepertinya diam-diam juga telah meracuni
alam bawah sadar sebagian masyarakat kita bahwa bahasa Inggris seakan dianggap
‘mutiara paling berharga’, lebih penting dari kemampuan berbahasa lainnya.
Karenanya, tak heran jika mereka yang
bisa berbahasa Inggris seperti mendapatkan perlakuan istimewa di masyarakat.
Di dunia pendidikan,
perlakukan khusus pada status bahasa Inggris ini dengan mudah terlihat dalam
beberapa kebijakan pemerintah. Tidak hanya menjadi pelajaran wajib, namun
bahasa Inggris kadang dijadikan alat ukur short
cut dalam menentukan sebuah sekolah atau seorang guru telah maju dan ikut
perkembangan zaman. Praktik dalam penerapan RSBI yang kontroversi dulu,
misalnya, bisa menjelaskan fenomena ini, ketika ukuran ‘berstandar
internasional’ oleh sebagian kalangan disimplifikasi menjadi pengajaran
menggunakan bahasa Inggris.
Bercermin
dari Vicky
Saya menduga bahwa
fenome gaya bahasa Vicky adalah bentuk ekstrim dari sisi lain akibat imprealisme
linguistik seperti yang disampaikan Philipson di atas. Yaitu ketika alam bawah
sadar sebagian orang mulai ‘terjajah’ dan diam-diam menganggap bahwa kemampuan
berbahasa Inggris adalah simbol dari status sosial. Bahwa mereka yang bisa
berbahasa Inggris adalah orang-orang keren, kalangan intelek, modern, terdidik,
dan dari kelas menengah ke atas. Akibatnya, sebagian orang seperti ‘memaksakan
diri’ untuk bergaya memakai bahasa Inggris. Pemaksaan diri ini kemudian
kebablasan, seperti kecendrungan yang terlihat pada fenomena Vicky.Dalam bentuk yang lebih soft, fenomena ini juga bisa diperhatikan saat sebagian kalangan, seperti para politisi, pengamat, atau pembawa berita radio dan TV yang secara sengaja menggunakan istilah asing (bahasa Inggris) pada sebagian pilihan kata mereka. Walaupun sebenarnya tidak ada konteks yang memerlukan mereka untuk menggunakan istilah asing itu. Sekali lagi, itu mereka lakukan mungkin mereka menganggap bahwa semakin ‘canggih’ pilihan bahasa yang mereka gunakan, maka akan semakin ‘keren’ mereka akan dipersepsi pendengar mereka.
Saya tentu
tidak sedang mengatakan bahwa kita sama sekali tak boleh menggunakan istilah
asing itu. Dalam tulisan inipun, saya tidak bisa menghindari penggunaan
beberapa istilah bahasa Inggris. Namun, poin saya adalah bagaimana kita
menempatkan kembali bahasa Inggris ini pada porsi seharusnya. Gunakan dia
secara tepat jika diperlukan.
Fenomena Vicky
ini bisa dijadikan momentum semua pecinta bahasa Indonesia untuk memikirkan
cara agar ‘kudeta bahasa’ ala Vicky ini tidak berakibat buruk pada eksistensi
Bahasa Indonesia. Pada saat yang sama, kita mungkin perlu memikirkan cara
bagaimana kita bisa menempatkan Bahasa Inggris secara proporsional dalam
kehidupan kita sebagai bangsa. Tentu kita masih tetap sepakat dengan pandangan
yang mengatakan bahwa bahasa adalah identitas penting yang melekat pada setiap
bangsa. Dengan demikian, rusaknya bahasa bisa dikatakan juga ikut merusak
sebuah bangsa. Karena alasan inilah kita berkepentingan agar jangan sampai ‘virus
bahasa’ ala Vicky ini melahirkan bentuk Vicky lain dan kemudian ‘mengkudeta’
bahasa nasional kita. Wallahu’alam.