Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 15 November 2012
11.13 WIB >
Dibaca 346 kali
Keberadaan sekolah berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) di tanah air sepertinya akan memasuki babak baru.
Saat ini publik sedang menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai tindak lanjut permohonan uji materi dari Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan terhadap pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini dijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk menyelenggarakan RSBI.
Permohonan itu sendiri sudah hampir setahun, karenanya Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mendesak MK untuk membuat keputusan secepatnya agar kontroversi terkait RSBI menemukan kepastian hukumnya (Kompas, 31/10/2012).
Kalau MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi ini, maka eksistensi 1.100 an RSBI di seluruh negeri terancam bubar, karena kehilangan dasar yuridis.
Pemerintah sendiri sudah siap dengan apapun keputusan MK ini. Wakil Kemendiknas, Professor Musliar Kasim, bahkan mengatakan bahwa kalaupun nanti MK mengabulkan permohonan uji materi itu, pemerintah akan tetap meneruskan pola pendidikan dengan sistem RSBI, walau dengan nama berbeda.
Pemerintah masih berkeyakinan bahwa sesungguhnya pola pendidikan semisal RSBI masih diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (Riau Pos, 5/11/2012)
RSBI dan Kualitas Pendidikan
Semangat pendirian RSBI pada awalnya barangkali terkait dengan keinginan kuat bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusia.
Ada banyak laporan dari beberapa lembaga dunia yang menyebut negeri kita sebagai negeri dengan kualitas sumber daya manusia sangat rendah.
Sebagai bangsa kita ingin duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnnya di dunia. Kita ingin keluar dari kelompok negara berkembang (baca: negara miskin dan tertinggal) yang sudah sangat lama disematkan kepada kita, dan entry point pentingnya adalah dengan terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Kemunculan RSBI kemudian diharapkan bisa menghasilkan lulusan (anak bangsa) yang berkelas dan atau berkualitas nasional dan internasional sekaligus.
Namun dalam lebih tujuh tahun perkembangannya, program RSBI ini sepertinya belum banyak menunjukkan keberhasilan sebagaimana semangat awalnya.
Salah satu kesimpulan dalam disertasi Mudjito Ak (2009) terkait evaluasi kebijakan pendidikan nasional tentang penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) menegaskan bahwa sekolah bertaraf internasional untuk pendidikan dasar dan menengah pada kenyataannya belum memberikan pengaruh yang berarti baik bagi peningkatan mutu pendidikan maupuan kemajuan pendidikan nasional.
Walaupun ada yang menolak “tuduhan kegagalan” RSBI ini dengan mengatakan bahwa mayoritas siswa lulusan RSBI biasanya memperoleh nilai di atas rata-rata pada Ujian Nasional atau banyak siswa alumni RSBI yang diterima di PTN.
Menjadikan ini sebagai indikator keberhasilan RSBI jelas sangat tidak cukup dan terkesan sangat menyederhanakan masalah.
Penilaian seperti ini tidak hanya berpotensi bias, karena mayoritas siswa SBI memang sudah menjadi “siswa pilihan” sejak awal sebelum mereka masuk RSBI, juga karena hal yang sama juga bisa dilakukan oleh sekolah nasional lainnya yang tidak berlabel RSBI. Terus kemudian apa bedanya sekolah dengan label RSBI dan non-RSBI?
Beberapa Potensi Masalah
Di antara alasan utama kelompok yang menolak dan atau menggugat keberadaan RSBI adalah karena pola pendidikan seperti RSBI telah menciptakan diskriminasi antar warga masyarakat dalam akses mereka terhadap pendidikan yang berkualitas. Ini karena RSBI biasanya memilih dan menseleksi calon siswa dari kalangan tertentu sejak awal.
Biasanya yang diterima di sekolah jenis ini adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan dengan kemampuan akademik di atas rata-rata. Dengan kata lain, mereka yang dengan kemampuan akademik rata-rata atau yang berasal dari keluarga miskin sangat kecil kemungkinan bisa menikmati proses pendidikan di lingkungan RSBI ini.
Sebagian masyarakat menilai bahwa proses pendidikan seperti ini adalah diskriminatif dan bertentangan dengan nilai dasar pendidikan yang tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap warga berdasarkan latar belakang sosio, ekonomi, dan kapasitas kognisi mereka.
Walaupun pemerintah telah mengatakan bahwa RSBI sebetulnya bisa diakses oleh anak-anak miskin juga selama memiliki prestasi akademis yang baik, namun adalah fakta bahwa kebanyakan siswa yang masuk ke sekolah RSBI adalah mereka dengan kategori “pintar” dan dari keluarga kaya.
Ada beberapa biaya yang tidak sedikit yang harus dibayar oleh anak didik yang bersekolah di RSBI. Karena besarnya biaya ini, di lapangan bahkan RSBI dipelesetkan masyarakat menjadi “Rintisan Sekolah Bertarif Internasional”.
Bahwa pendidikan berkualitas itu butuh biaya dan bisa jadi mahal adalah benar. Masalahnya adalah jika biaya itu dibebankan kepada masyarakat. Inilah yan menjadi pokok masalah.
Lebih jauh, kondisi seperti ini tentu berpotensi memperlebar gap si kaya dan si miskin, atau yang pintar dan yang “bodoh” (saya sengaja menggunakan tanda kutip, karena tidak tega menggunakan istilah ini untuk menyebut anak didik yang “kurang pintar”).
Selain definisi dan kriteria pintar itu sendiri sebenarnya kompleks, bukankah relasi antara “miskin” dan “bodoh” adalah dua hal yang saling mempengaruhi.
Potensi diskriminasi sistem sekolah seperti RSBI itu dengan sendirinya akan melanggengkan gap kaya-miskin, pintar-bodoh itu. Lebih jauh, besarnya biaya mereka yang bersekolah di RSBI ini tentu juga kontradiktif dengan semangat yang sedang dibangun pemerintah sendiri dalam penyelenggaran sistem pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diamanatkan pasal 31 UUD 1945.
Masalah lain dari RSBI adalah biasnya definisi dan filosopi penyelenggaran RSBI sejak awal. Definisi umum yang diberikan pemerintah tentang (R)SBI adalah bahwa (R)SBI merupakan sebuah sekolah dengan kurikulum nasional plus.
Namun panduan (R)SBI yang dikeluarkan pemerintah tidak memberikan deskripsi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan konsep “plus” ini.
Ketidakjelasan ini kemudian membuat banyak pemerintah daerah dan sekolah bebas mendefinisikan sendiri RSBI sesuai dengan tafsir dan pemahaman mereka.
Walaupun ada sekolah yang menafsir bahwa SBI/RSBI adalah sekolah dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diajarkan dalam bahasa Inggris, dan mengadopsi kurikulum International General Certificate for Secondary Education (IGCSE)-Cambridge, namun beberapa pengelola SBI/RSBI memahaminya dengan konsep sangat terbatas. SBI/RSBI ditafsir sebagai sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses pembelajaran, sekolah dengan fasilitas dengan ruang kelas berpendingin ruangan, sekolah dimana guru lebih banyak menggunakan laptop dan LCD projector saat menerangkan pelajaran, atau bahkan ada yang memahami bahwa SBI/RSBI seperti bus malam kelas eksekutif, sebuah sekolah dengan kamar kecil/toilet di setiap ruang kelas (Rizali, 2008).
Kendala teknis, seperti ketersediaan para guru mata pelajaran dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik, adalah masalah lainnya. Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas dulu juga mengakui bahwa dari 260 kepala sekolah RSBI pada tahun 2010 yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary).
Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7.
Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada TOEFL).
Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.***
Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, mahasiswa PhD di Monash University Australia