Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 1 November 2012)
08.52 WIB >
Dibaca 842 kali
“Tak ada elemen terluhur yang dimiliki suatu bangsa selain bahasa.” (Ernst Moritz Arndt)
Melanjutkan tulisan saya di harian ini dua pekan lalu (18/10/2012) berjudul “Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar”, saya berpendapat bahwa saya mendukung rencana pemerintah untuk melakukan perombakan dan atau revisi kurikulum Sekolah Dasar (SD) dengan beberapa alasan dan pertimbangan yang telah saya sebutkan pada artikel itu.
Namun dalam tulisan tersebut saya menggarisbawahi tentang pentingnya pemerintah memberikan penjelasan yang komprehensif dan ilmiah kepada masyarakat terkait dengan wacana penghapusan pengajaran bahasa Inggris di tingkat SD sebagai bagian dari perombakan kurikulum.
Penjelasan seperti ini penting, selain karena kemampuan berbahasa Inggris sudah dianggap sebagai satu ketampilan penting oleh kebanyakan kita sebagai bangsa Indonesia, juga karena keputusan peniadaan itu, disadari atau tidak, akan ikut menentukan arah masa depan generasi kita.
Wacana peniadaan pengajaran bahasa Inggris di tingkat SD ini pertama kali disampaikan oleh Wakil Menteri Kemendikbud, Professor Musliar Kasim, di awal-awal bulan Oktober 2012.
Pemerintah berpendapat bahwa kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah lebih prioritas diajarkan kepada anak usia SD daripada kemampuan berbahasa asing.
Ide peniadaan ini kontan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada banyak pengguna soscial media seperti Facebook dan atau Twitter yang menanggapi sinis lontaran wakil mentri ini.
Mayoritas besar mereka berpendapat bahwa gagasan seperti ini merupakan langkah mundur bagi dunia pendidikan kita, mengingat kemampuan berbahasa Inggris telah menjadi mutlak dimiliki oleh generasi muda Indonesia untuk bisa bergaul dan bersaing di kancah global dalam bidang apapun.
Mengacu pada dokumen resmi standar isi kurikulum nasional untuk tingkat SD, sebenarnya mata pelajaran bahasa Inggris bukanlah salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di tingkat SD.
Bahasa Inggris barulah secara resmi diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di tingkat SMP. Namun, selama ini banyak sekolah yang telah mulai mengajarkannya di tingkat SD dengan menjadikannya salah satu bidang studi di kurikulum muatan lokal.
Dengan demikian, peniadaan yang dimaksud pemerintah itu adalah penghapusan bahasa Inggris sebagai salah satu subjek dalam kurikulum muatan lokal tersebut.
Kalau wacana ini kemudian menjadi keputusan, maka mulai Januari 2013, mata pelajaran bahasa Inggris kemudian akan lenyap dalam muatan kurikulum SD (negeri).
Bahasa, Identitas, dan Linguistic Imprealism
Mendiskusikan wacana pemerintah ini, adagium lama namun masih relevan untuk kita ingat dalam konteks ini adalah bahasa menunjukkan bangsa.
Ungkapan ini berarti bahwa ada kaitan yang sangat erat antara suatu bahasa dengan jati diri seseorang sebagai entitas sebuah bangsa.
Bahwa bahasa adalah identitas yang membedakan sebuah bangsa dengan yang lainnya. Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, namun juga menjadi alat perekat yang mempersatukan sebuah komunitas.
Karena peran strategis bahasa inilah dulu para founding father negara ini berusaha dan berjuang memastikan agar semua kelompok etnis di Nusantara bisa berbahasa yang satu, yaitu bahasa Indonesia.
Barangkali inilah alasan utama pemerintah mewacanakan peniadaan pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD, agar anak didik kita bisa lebih fokus mendalami bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Pemerintah barangkali setuju dengan ungkapan Ernst Moritz Arndt yang saya kutip di awal tulisan ini. Bahwa tak ada elemen paling luhur dari sebuah bangsa, kecuali bahasa.
Penguasaan yang baik terhadap bahasa Indonesia diharapkan bisa menjadi salah satu entry point tumbuhnya rasa nasionalisme mereka.
Lebih jauh, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mereka diharapkan bisa mengenal lebih jauh kekayaan khazanah budaya Nusantara.
Di lain sisi, sangat mungkin bahwa pemerintah merasa khawatir akan terancamnya identitas generasi muda Indonesia akibat derasnya arus bahasa asing ke generasi muda kita saat ini.
Globalisasi informasi di satu sisi membuka berjuta peluang untuk maju, namun pada saat yang sama dia juga membawa ancaman.
Pemerintah barangkali sedang berusaha mengelola ancaman serangan budaya asing ini dengan penguatan karakter bangsa melalui penguatan pengajaran bahasa nasional.
Apalagi kalau kita melihat dari kacamata “politik bahasa”, bahwa diakui atau tidak bahasa Inggris saat ini memang menjadi bahasa yang hegemonik. Phillipson (1992) menyebut fenomena ini sebagai linguistic imprealism (penjajahan linguitik).
Philipson mengkritisi hegemoni budaya asing yang masuk melalui “penjajahan model baru” melalui bahasa, sebagaimana fenemena hegemoni bahasa Inggris di banyak negara berkembang, seperti halnya Indonesia.
Akibatnya, kita cendrung menempatkan kemampuan berbahasa Inggris adalah “segalanya”, bahkan mungkin melebihi kesadaran kita tentang pentingnya kita menguasai bahasa sendiri.
Alam bawah sadar kita barangkali ikut mengatakan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang keren, mereka yang menguasainya adalah orang-orang yang keren.
Akibatnya, kita akan melakukan “apa saja” untuk bisa dianggap masuk dalam kelompok “orang-orang keren” itu. Di titik ini, menurut Phillipson, kita sudah “terjajah” secara linguistik.
Masa Emas Belajar Bahasa
Terlepas dari urusan nasionalisme di atas, pemerintah perlu kembali menyadari bahwa adalah fakta bahwa kemampaan berbahasa asing yang baik adalah penting bagi generasi muda kita agar bisa menjadi salah seorang warga dunia, dan bisa mengambil peran strategis di dalamnya untuk kepentingan diri sendiri ataupun untuk kepentinan bangsa. Kemudian, adalah juga fakta bahwa tingkat rata-rata kemampuan berbahasa asing kita masih sangat rendah.
English Proficiency Index (EPI) yang dirilis oleh lembaga English First (EF) pada tahun 2011, misalnya, menempatkan Indonesia di ranking 34 dari 44 negara non-berbahasa Inggris yang mereka survei berdasarkan nilai tes bahasa Inggris online dari lebih 2 juta orang dewasa selama 3 tahun terakhir.
Dengan demikian, kita berharap bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indonesia di masa depan bisa lebih baik, karena rendahnya kemampuan berbahasa asing kita selama ini tentu tidak bisa dipisahkan dari “kegagalan sekolah” dalam mengajarkan bahasa Inggris ini. Karenanya, sistem pengajaran bahasa Inggris di sekolah juga perlu mereformasi diri.
Sampai di sini kemudian, perlu kita ketahui bahwa dalam teori pemerolehan bahasa, anak-anak SD yang berusia antara 6-12 tahun itu berada pada masa emas mereka belajar bahasa, selain bahasa ibu.
Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah. Menurut tokoh psikososial Erikson, kemampuan berbahasa anak pada fase ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret.
Riset teknologi brain imaging di University of California, Los Angeles, menunjukkan bahwa pada rentang usia anak SD ini, kemampuan mereka dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada pada kondisi optimal sehingga secara biologis menjadi waktu yang tepat untuk mempelajari bahasa asing.
Penelitian lain (Kormi dan Nouri, 2008) juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa anak-anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa memiliki kemampuan lebih dalam tugas memori episodic, mempelajari kalimat dan kata, dan memori semantic, kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya.
Dua penelitian ini menunjukkan bahwa bilingualisme tidak akan mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun.
Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah bahwa bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep.
Dengan demikian, anak-anak ini mampu memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman terhadap bahasa ibunya.
Oleh karena itu, anak-anak SD secara biologis berada dalam masa emas untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.
Epilog
Mengacu pada alasan di atas, sepertinya pemerintah akan menghadapi dilema jika wacana penghapusan itu benar-benar dilaksanakan.
Di satu sisi, pemerintah ingin memperkuat bahasa nasional dan membangun jati diri generasi muda Indonesia melalui bahasa Indonesia yang baik, namun di sisi lain, penghapusan itu dengan sendirinya akan menghilangkan kesempatan bagi anak-anak usia SD untuk bisa menguasai bahasa Inggris di usia emas mereka.
Lebih jauh kebijakan ini bisa berakibat pada (tetap) lemahnya daya saing generasi muda kita di kancah internasional, karena keterbatasan kemampuan bahasa asing mereka.
Saya berpendapat bahwa akan lebih bijak pemerintah tetap membuka peluang setiap sekolah dasar untuk mengajarkan bidang studi bahasa Inggris dalam kurikulum muatan lokal mereka. Namun, tentu dengan catatan bahwa sekolah juga harus memiliki program yang serius dan terukur untuk mengajarkan budaya nasional melalui pengajaran Bahasa Indonesia.
Yang tak kalah pentingnya adalah, setiap sekolah yang mengajarkan bahasa Inggris harus memastikan bahwa metode pengajaran bahasa Inggris harus disampaikan dengan cara-cara yang susuai dengan perkembangan psikologi anak SD, bukan dengan metode konvensional, seperti Grammar Translation Method (GTM) yang cendrung tidak cocok untuk anak seusia mereka dan pasti akan menambah beban mereka.
Pelatihan bagi guru tentang metode, teknik, strategi megajar yang cocok untuk anak-anak SD juga penting dan mendesak dilakukan. Wallahua’alam.***
Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.