Minggu ini hasil Ujian Nasional 2006 untuk siswa SLTA telah diketahui publik. Fantastis! Rata-rata kelulusan siswa di tanah air meningkat tajam. Angka kelulusan siswa SLTA secara nasional tahun ini melebihi 90 persen. Sekali lagi, ini adalah angka yang menakjubkan. Sebuah angka yang jauh di luar dugaan banyak pihak, mengingat aturan main Ujian Nasional 2006 justru lebih ketat dari tahun sebelumnya, dimana siswa harus mendapatkan nilai (asli) minimal 4, 26 untuk semua mata pelajaran yang diujikan secara nasional dan dengan nilai rata-rata minimal harus 4, 51 untuk ketiga mata pelajaran itu.
Sumatera Barat sendiri menorehkan “prestasi” peningkatan luar biasa, dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah Ujian Nasional (dulu bernama UAN), Sumatera Barat berada dalam deretan 10 besar secara nasional. Sebuah “prestasi” yang sepertinya begitu dinikmati oleh banyak pejabat terkait di daerah ini, setelah 3 tahun sebelumnya daerah ini justru berada pada rangking papan bawah secara nasional. Sebuah kenyataan pahit yang pernah membuat malu semua pejabat terkait dalam dunia pendidikan daerah ini 3 dan 2 tahun silam.
Namun, tanpa bermaksud menafikan usaha keras semua pihak dalam mempersiapkan Ujian Nasional ini, jujur saja sebagai seorang praktisi pendidikan yang tahu persis bagaimana kondisi pendidikan di daerah, penulis tak begitu saja percaya dengan semua angka-angka di atas. Apalagi, ketika mendengar beberapa siswa di daerah yang mendapat nilai sempurna, 10, dalam beberapa mata pelajaran, diantaranya dalam pelajaran Bahasa Inggris, jujur saja sebagai guru Bahasa Inggris saya sulit mempercayai angka itu.
Ada banyak “keanehan” terjadi dalam Ujian Nasional 2006 ini. Sebuah sekolah di daerah terpencil, misalnya, yang pada tiga kali tried out menjelang Ujian Nasional 2006 tidak pernah meluluskan satupun siswanya dalam simulasi Ujian Nasional itu, justru dalam hitungan minggu mampu mencetak siswanya dengan “prestasi luar biasa”, ketika pada Ujian Nasional kemaren semua siswanya lulus (100%) dan dengan nilai-nilai rata “spetakuler”, mendekati angka 7, 00. Ah, sekali lagi angka ini sungguh tak masuk akal bagi seorang pendidik yang tahu persis bagaimana menantangnya meningkatkan nilai siswa. Semua pendidik yang jujur tahu persis betapa susahnya menggenjot nilai siswa, bahkan dalam hitungan nol koma.
Melihat kenyataan ini, sepertinya sinyalamen Ketua Komisi X DPR RI, Zuber Safawi yang mengatakan bahwa hasil UN 2006 patut diduga palsu alias tidak mencerminkan kemampuan real siswa adalah benar adanya. Seperti dikatakan Zuber bahwa DPR mendapat laporan dari banyak pihak bahwa sepertinya ada gerakan terorganisir dan sistematis untuk mendongkrak nilai UN di sekolah-sekolah dengan berbagai modus operandi. DPR memperkirakan hal itu terjadi hampir di semua daerah (Padang Ekspress, 22/06/2006).
Sama dengan kejadian tahun sebelumnya, modus operandi sekolah dalam pendongkrakan nilai itu beragam, mulai dari mengatur posisi tempat duduk siswa (siswa pintar biasanya diposisikan di tengah dan “bertugas” membantu kawan-kawan di sekelilingnya), pengawas ujian yang sengaja “berbaik hati” membiarkan siswa saling contek, bocornya soal lengkap dengan kunci jawabannya sebelum hari H ujian, sampai dengan ikutnya guru memberikan kunci jawaban saat ujian berlangsung.
Bahkan yang lebih ironis, kelompok pemantau independen yang pada awalnya diharapkan bisa menjalankan perannya sebagai kekuatan penyeimbang yang akan mengawal perjalanan UN agar berlangsung sebagaimana mestinya justru berbuat sebaliknya. Dari cerita kawan-kawan saya sesama guru di lapangan, justru sebagian anggota pemantau ini ikut memberikan jawaban kepada peserta ujian. Sungguh, negeri ini penuh dengan rentetan kejadian ironis dan paradoks.
Tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa semua hasil UN 2006 adalah benar palsu, karena saya berkeyakinan bahwa selalu ada secercah cahaya bintang di tengah kegelapan malam, artinya saya yakin tetap ada sekolah yang berusaha jujur dengan pelaksanaan UN ini, namun karena begitu mencoloknya berbagai macam kejadian “luar biasa” dalam hasil UN 2006, saya terpaksa ikut mempertanyakan validitas hasil (nilai) UN 2006 ini.
Adalah benar bahwa UN itu sendiri layak dipertanyakan tingkat keadilannya mengingat bobot dan muatan soal UN sama untuk semua siswa, padahal adalah kenyataan yang tak bisa dibantah tentang adanya disparitas kualitas sekolah yang sangat besar antar satu daerah dengan daerah lain di tanah air. Tapi, tentu saja, disparitas kualitas antar sekolah ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melegitimasi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Menurut saya akan lebih terhormat bila sebuah sekolah (setelah berusaha maksmal mempersiapkan anak didiknya) menerima kenyataan anak didiknya tidak lulus ujian dengan kstaria, ketimbang bergembira melihat angka kelulusan yang fantastis, padahal sebenarnya palsu.
Prestasi Semu
Zaman boleh saja berubah, waktu bisa saja berganti. Namun mentalitas sebagian besar anak bangsa ini sepertinya masih saja belum berubah, bahkan dalam batas-batas tertentu justru makin mengkhawatirkan. Masih banyak diantara kita ternyata yang masih mau terjebak dengan kebahagian semu. Tersenyum bangga dengan angka-angka hasil UN yang kelihatan fantastis, padahal sesungguhnya nurani kita tak bisa dibohongi bahwa prestasi itu semu belaka.
Kalaulah sinyalamen DPR tentang palsunya hasil UN 2006 itu benar, sungguh kita nyaris kehilangan harapan tentang masa depan pendidikan negeri ini. Betapa tidak, insan pendidik yang sesungguhnya diharapkan sebagai aktor utama perbaikan mentalitas anak bangsa ini, justru berbuat sebaliknya dengan menodai niat baik penyelenggaran UN. Kalau begitu siapa lagi dari entitas anak negeri ini yang bisa diharapkan memperbaiki mentalitas anak bangsa yang terlanjur rusak ini?
Karena itulah saya sangat mendukung usaha DPR untuk mengusut tuntas kasus pendongkarakan nilai UN 2006 ini. Semua pihak terkait dalam kasus ini harus diseret ke pengadilan, kalau perlu dihukum seberat-beratnya. Bagi saya, pendongkrakan nilai UN adalah sebuah kejahatan luar biasa. Skandal ini tidak hanya telah membuat hasil ujian menjadi tidak valid, tapi lebih jauh juga telah merusak mentalitas anak didik dalam beberapa generasi. Apa jadinya nanti mentalitas generasi baru negeri ini, kalau orang-orang yang mereka hormati di sekolah (seperti guru dan kepala sekolah) justru mengajarkan kepada mereka perilaku bersikap curang, tidak jujur, munafik, dan menghalalakan segala cara dalam mencapai tujuan.
Peristiwa yang sesungguhnya telah berulang kali ini juga telah membunuh prinsip kerja keras dan ketekunan dalam berlajar di kalangan anak didik. Dampak yang paling jelas adalah, pada masa datang semua usaha guru untuk memotivasi siswa agar belajar maksimal dalam mempersiapkan ujian akan tidak bermakna apa-apa, karena seorang anak didik sadar ataupun tidak akan berpendapat bahwa mereka tak perlu lagi belajar dengan giat untuk menghadapi ujian, karena toh nanti pada hari H ujian akan ada banyak pihak yang “berbaik hati” membantu.
Pada sisi lain, sebagian guru yang sebelumnya mungkin saja bersemangat menjalankan perannya sebagai pendidik dengan berusaha maksimal mempersiapkan anak didik mereka agar berhasil dalam ujian juga bakal kehilangan semangat untuk bekerja dan mengajar secara maksimal. Untuk apa mereka harus capek-capek membimbing siswa, kalau memang pada akhirnya (karena tekanan dari pihak lain) siswa bakal “dibantu” sewaktu ujian.
Reformulasi Ujian Nasional 2007
Pada awalnya saya termasuk kelompok yang menerima UN dengan syarat semua aturan main UN itu dilaksanakan sebagaimana mestinya (silahkan baca tulisan saya sebelumnya di harian ini tertanggal 11/02/2006). Saya paham bahwa memang diperlukan sebuah standar prestasi minimal anak didik secara nasional. Saya juga memahami keinginan pemerintah yang membutuhkan UN sebagai piranti kendali mutu sekaligus alat untuk memetakan kualitas pendidikan kita secara nasional. Lebih jauh, penulis setuju dengan pemerintah bahwa UN bisa berfungsi sebagai shock teraphy terhadap semua pihak terkait untuk menjalankan peran dan tugas mereka secara maksimal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Namun melihat kenyataan pelaksanaan UN dalam beberapa tahun terkahir yang semakin memburuk, maka sepertinya saya terpaksa mengambil posisi menolak pelaksanaan UN pada datang. Penulis melihat, justru ada banyak dampak negatif dari pelaksanaan UN ini. Banyak entitas anak bangsa ini tidak siap menjalankan sistem UN ini. Betapapun sesungguhnya perangkat sistem sudah disiapakan dengan sedemikian rupa oleh pemerintah. Yang terjadi justru anti klimaks. Berharap kualitas pendidikan nasional meningkat melalaui UN, yang terjadi justru adalah prestasi semu. Berharap kinerja semua pihak terkait dalam dunia pendidikan membaik karena ada UN, yang berkembang justru mentalitas para pembohong, munafik, suka jalan pintas dengan menghalalkan segala cara.
Kalaupun UN masih akan dilakukan pada tahun depan, sepertinya perlu dipertimbangkan saran beberapa pihak yang menghimbau pemerintah untuk tidak menjadikan nilai UN sebagai satu-satunya data untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk sementara, saya pikir sistem EBTANAS pada masa lalu, yang memberikan wewenang kelulusan siswa kepada rapat majelis guru, dan tidak hanya berpatok pada nilai EBTANAS, layak untuk dipertimbangkan kembali. Pendeknya, jangan sampai pristiwa ketakutan dari banyak pihak terhadap kelulusan anak didik mereka dalam UN yang kemudian memaksa mereka mencari jalan pintas seperti ini terus berulang. Sungguh sangat disayangkan, sebuah perhelatan besar dunia pendidikan kita seperti UN yang menelan biaya hampir 240 miliar ini hanya menghasilkan generasi bermental pembohong yang suka jalan pintas dengan menghalalkan segala cara. Sekali lagi, kisah sedih ini tak boleh lagi terulang. Wallahu a’lam
* Afrianto Daud adalah pemerhati pendidikan nasional, kandidat Master of Education di Monash University Australia