(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk koran Republika)
Saudara Ahmad Khoirul Fata (selanjutnya disingkat AKF) dalam tulisannya di harian Republika pada tanggal 28 Februari 2006 di bawah judul Anak Tiri Itu Bernama Madrasah secara gamblang mengungkapkan betapa dunia madrasah sampai hari ini masih mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah. AKF menyimpulan ketidakadilan tersebut karena adanya Surat Edaran (SE) Mentri Dalam Negeri (Mendagri), Moh Ma'ruf, tanggal 21 September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal. Sementara madrasah (juga pesantern) sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini berada di bawah koordinasi Departemen Agama yang termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang yang tidak diberi kewenangan otonomi.
Seperti diungkapkan AKF, SE Mendagri itu telah memicu keberatan dari banyak pihak terkait di jajaran pendidikan agama Islam. Hal ini disebabkan karena kalau surat edaran itu dipatuhi oleh semua kepala daerah, maka masalah klasik yang dihadapi oleh dunia madrasah yang sering diberlakukan tidak adil (AKF lebih suka menyebutnya dengan “anak tiri”) akan terus berlanjut tanpa solusi.
Saya sepakat dengan saudara AKF bahwa pemberlakuan surat itu jelas akan terus memperpanjang dan memperlebar disparitas dunia madrasah dengan sekolah umum di bawah binaan Depdiknas.
SE itu diyakini akan semakin mengoyak luka yang sebenarnya masih belum sembuh akibat ketidakadilan politik pendidikan terhadap madrasah selama puluhan tahun. SE itu jelas juga bukan solusi terbaik dalam konteks penataan ulang manajemen pendidikan nasional kita dalam rangka pencapaian tujuan mulia peningkatan kualitas pendidikan nasional, dimana madrasah adalah salah satu entitas pendidikan yang tak mungkin (baca: tak boleh) dilupakan.
Sebagai seorang yang lahir, tumbuh, dan mengabdi di dunia madrasah, saya dan hampir seluruh keluarga besar madrasah telah merasakan bahwa betapa isu tentang anak tiri ini bukanlah isapan jempol belaka. Tapi isu itu benar adanya. It’s real and undeniable. Bahkan saya pernah komplain langsung kepada seorang kepala daerah dimana saya bertugas terkait kenyataan tentang penganaktirian madrasah oleh pemerintahan daerah. Dengan enteng sang kepala daerah menjawab, “Hal ini lumrah karena madrasah bukan anak kandung saya,” katanya. Beberapa tulisan saya di media sebelumnya telah secara gamblang menjelaskan betapa telah banyak korban berjatuhan dalam dunia madrasah akibat pemberlakukan kebjiakan (yang sebenarnya tidak bijak) itu.
Rendahnya rata-rata kualitas output pendidikan madrasah, terbatasnya sarana dan parasarana belajar, terbatasnya jumlah guru, rendahnya kualitas guru madrasah, kurangnya kesejahteraan guru, lemahnya kemampuan manajerial kepala madrasah, dan tidak dijadikannya madrasah sebagai pilihan orang tua untuk menitipkan pembinaan anak-anak mereka adalah sebagian dari rantai permasalahan yang bak lingkaran setan melilit madrasah kita.
Seperti yang dikatakan Tilar (2003) salah satu akar permasalahan yang menjadikan madrasah seperti ini adalah karena sejak lama dunia madrasah mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah, baik oleh pemerintahan kolonial maupun pemerintah pasca Indonesia merdeka.
Ketidakadilan yang paling mencolok adalah dalam hal pengalokasian anggaran pendidikan yang hanya memprioritaskan sekolah negeri (umum), sebaliknya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan madrasah sangat terabaikan dan terlalu kecil.
Sebagai contoh, unit cost per anak per tahun untuk jenjang madrasah aliyah (MA) adalah Rp. 4.000, sedangkan untuk SMU sekitar Rp. 400.000. Perbedaannya 100 kali lipat. (Mashuri, 2003).
Kesenjangan lain juga terlihat dalam hal penyediaan guru oleh pemerintah. Data dari Depag tahun 2004 menjelaskan bahwa dari 456.281 guru madrasah saat ini hanya 17,3 persen berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Berarti, 82 persen lebih mengabdi dengan status non-PNS. Pada jenjang ibtidaiyah, dari 196.374 guru hanya 19 persen berstatus PNS.
Pada jenjang tsanawiyah, dari 192.279 guru hanya 14,6 persen berstatus PNS. Pada jenjang aliyah, dari 67.628 guru hanya 20 persen berstatus PNS.
Secara lebih spesifik, di jawa Tengah, misalnya, data menunjukkan bahwa dari total 5.156 madrasah di Jawa Tengah, 94,69 persen (5.445 madrasah) berstatus swasta, dan selebihnya negeri. Sementara dari total 69.132 guru madrasah, 57.639 orang di antaranya merupakan guru swasta atau 83,37 persen, dan hanya sekitar 16 persen saja yang berstatus guru negeri (Republika, 29/03/2006).
Ketidakadilan ini jelas satu hal yang sungguh ironis, karena tak bisa dibantah bahwa madrasah lahir tumbuh dan besar dari rahim anak bangsa ini. Madrasah juga telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap proses pembinaan anak bangsa ini selama ratusan tahun, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Madrasah juga telah berperan signifikan dalam mensuksekan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.
Alternatif Solusi
Agar madrasah tidak terus dijadikan anak tiri dalam kebijakan politik pendidikan di negeri ini, mendesak diperlukan kebijakan politik baru terkait kesejajaran madrasah dengan sekolah umum ini. Sepertinya ide ketua Komisi VIII DPR RI, Zuber Safawi, yang mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat PP yang mengatur kesetaraan madrasah dengan sekolah umum patut dipertimbangkan.
Sekalipun sesungguhnya dalam UU No. 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa status madrasah tidak hanya ditempatkan sederajat dengan sekolah umum, melainkan sama persis dengan sekolah umum, namun keberadaan PP masih sangat diperlukan sebagai petunjuk teknis semua pihak terkait tentang pengamalan pasal ini di lapangan.
Dengan PP, akan ada perangkat hukum yang sangat kuat untuk menjaga agar pendidikan di madrasah tidak terus menerus dianaktirikan.
Kalau pemerintah tidak mau mengeluarkan PP terkait masalah ini, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang cukup untuk madrasah melalui penambahan anggaran Departemen Agama. Sekalipun anggaran yang besar bukanlah segalanya, tapi diyakini anggaran yang cukup akan berpengaruh signifikan terhadap dunia madrasah. Hanya dengan cara inilah, masalah klasik madrasah terkait kekurangan anggaran akan bisa diselasaikan dan perasaan menjadi anak tiri pemerintah bisa dieliminir.
Alternatif solusi lainnya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan AKF bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.
Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang.
Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, maka akibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.
Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang.
Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.
Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam?
Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu?
Saya yakin wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya. Wallahu alam bissawab
* Afrianto Daud adalah mahasiswa Program Master of Education, Monash University, Melbourne, Australia