Mengimpikan Nagari Qur’ani
Oleh: Afrianto Daud
Padang Ekspres, Minggu, 16-Oktober-2005, 06:36:24
128 clicks
Adagium yang sangat populer melekat dengan budaya Minangkabau adalah adat basandi syara , syara' basandi kitabullah (ABS-SBK). Karena begitu populernya, hampir tak ada orang Minang yang tidak mengenal ungkapan ini. Bahkan, ungkapan filosofis ini telah banyak dibicarakan dalam berbagai forum diskusi, seminar, dan lokakarya tentang adat Minangkabau.
Namun kalau kita mau jujur, pembicaraan tentang ABS-SBK selama ini barulah sebatas wacana retorik, prakteknya belum terlihat secara nyata dalam pe.ngalaman hidup masyarakat Minang sehari-hari. Secara historis ABS-SBK lahir dari hasil kompromi (untuk tidak menyebut kesepakatan) kaum adat dengan para ulama. Seperti diketahui ketika Islam masuk ke ranah Minang, orang Minang sudah sangat kuat dengan adatnya. Pada awal da'wah Islam di Minangkabau, ada beberapa kebiasaan orang Minang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, minum tuak, berjudi dan beberapa prosesi adat yang berbau animisme.
Tentu saja kebiasaan yang sudah jadi tradisi ini sulit berubah dengan cepat, sekalipun mereka sudah beragama Islam. Dakwah Islam yang dibawa para ulama, tentu berjuang untuk memberantas kebiasaan buruk itu. Perselisihan antara ulama dengan kaum adat yang sangat kuat dengan prinsip-prinsip adatnya tak terhindarkan. Dan pada akhirnya dilakukan pertemuan (musyawarah) besar yang melibatkan kaum adat, cerdik pandai dan ulama di Bukit Marapalam Puncak Pato Tanah Datar.
Pertemuan itu sangat legendaris, karena dari pertemuan itulah terlahir ungkapan adat basandi syara, syara' basandi kitabullah . Inti dari ABS-SBK adalah adanya kesepahaman dari tiger tungku sajarangan bahwa kitabullah (baca: ajaran Islam) adalah payung tertinggi yang menaungi tata cara kehidupan masyarakat Minang secara keseluruhan. Kalaupun masyarakat tidak boleh meninggalkan adat, namun adat yang dipakai haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam bahasa lain, ABS-SBK secara hakekat sebenarnya adalah kesepakatan semua orang Minang untuk menjadikan Islam sebagai way of life mereka.
Dengan adanya pemahaman seperti ini, tidak heran kalau Minangkabau sangat identik dengan Islam. Islam telah menjadi sumber energi sekaligus ruh kehidupan budaya orang Minang. Bahkan, pada titik ekstrim kalau ada orang Minang yang keluar dari agama Islam, maka yang bersangkutan secara otomatis tidak lagi berhak disebut sebagai orang Minang. Pendeknya, Orang Minang pasti (beragama) Islam, sekalipun semua orang Islam tidak otomatis menjadi orang Minang.
Melekatnya masyarakat Minang dengan Islam, antara lain, bisa dilihat dari ungkapan yang mengatakan syara' mangato, adaik mamakai. Ungkapan ini berarti bahwa apapun yang digariskan oleh agama (Islam) secara konseptul akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh adat secara operasional. Senada dengan itu, petatah petitih adat yang mendeskripsikan beberapa pilar penyangga nagari Minangkabau diantaranya menyebut bahwa sebuah nagari harus memiliki balai jo musajik (pasar dan masjid). Artinya sebuah nagari belum bisa dikatakan nagari Minang yang ideal kalau belum memiliki (salah satunya) masjid sebagai sarana penting peribadatan kaum muslimin. Dengan demikian, sekali lagi, Islam adalah ruh dan energi yang sudah menyatu dengan masyarakat Minangkabau sejak lama.
Nagari Minangkabau Kontemporer
Tak bisa disangkal bahwa gambaran nagari Minangkabau hari ini dalam hubungannya dengan penerapan nilai-nilai Islam sangat jauh dari apa yang digambarkan secara konseptual di atas. Pendeknya, Minangkabau sudah mengalami degradasi nilai dan perubahan budaya yang dahsyat. Nagari Minang sepertinya tak kuat dengan serbuan budaya asing yang dibawa arus globalisasi informasi . Serangan budaya itu telah mengerogoti jiwa orang Minang dan menembus dinding hampir setiap rumah tangga orang Minang saat ini. Sehingga akhimya, konsep adat basandi syara', syara' basandi kitabullah lebih banyak hanya menjadi retorika orang Minang, baik yang di kampung maupun di perantauan.
Tengoklah apa yang terjadi di nagari Minangkabau hari ini. Nilai-nilai luar seperti budaya materialisme, hedonisme, dan bahkan individualisme telah mengganti budaya luhur orang Minang yang dulu dikenal dengan masyarakat yang Islami. Orang Minang tak lagi bangga dengan identitas asli mereka. Lihatlah bagaimana prilaku dan cara berpakaian anak gadih Minang sekarang. Perhatikan juga tingkah polah ibu-ibu muda Minang yang notabene akan menjadi bundo kanduang, limpapeh rumah gadang.
Budaya kontrol sudah semakin berkurang, yang berkembang justru permissivisme. Peran strategis tigo tungko sajarangan sudah semakin memudar dan dirasa tidak lagi efektif menjaga nama baik kampung dan nagari. Hari ini tak banyak lagi orang yang peduli dengan kemaksiatan yang mengotori nagari. Lihatlah siapa yang berani melarang peredaran togel di perkampungan Minang. Siapa yang peduli dengan anak kemanakan yang bermabuk-mabukan. Bahkan, maksiat dalam bentuk zina pun lebih sering diselesaikan dengan penyelesaian biasa-biasa aja ketimbang memprosesnya dengan hukuman yang berat.
Minangkabau, memang sudah berubah. Kalaupun saat ini, seoang trend istilah kembali ke nagari, atau kembali ke surau, tetapi sekali lagi, istilah itu hanya sekedar retorika, dan tidak terlihat aplikasinya secara substantif di lapangan. Kalau kondisi ini dibiarkan begini terus tanpa penyelesaian yang revolusioner, bukan tidak mungkin Minangkabau dengan segala pernik keunikan budayanya hanya akan menjadi cerita indah masa lalu dan kemudian besok atau lusa cerita indah itu hanya bisa kita temukan dalam lembaran sejarah yang tersimpan dalam mesium budaya orang Minangkabau.
Nagari Qur’ani, Kenapa Tidak?
Menurut saya, satu-satunya solusi revolusioner dari permasalahan Minangkabau hari ini adalah dengan secara tegas kembali memproklamirkan al-quran sebagai sumber hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh orang Minangkabau. Tidak saatnya lagi orang Minang bangga dan berlindung di balik aturan-aturan adat yang tidak secara tegas menjadikan Al-Quran sebagai payung tertinggi. Sudah datang waktunya bagi nagari-nagari Minang mempraktekkan seluruh ajaran Islam secara kaffah dalam seluruh dimensi kehidupan orang Minang. Kalau Aceh, Gorontalo, dan beberapa daerah lain bisa secara tegas dan percaya diri menyatakan daerah mereka bersyariat Islam, kenapa Minangkabau tidak?
Pada tataran praktis, kita mengimpikan lahirnya sebuah nagari Minangkabau yang qurani. Nagari qurani yang kita impikan ini adalah nagari yang dipimpin tidak hanya oleh seorang yang diakui ketokohannya dalam masyarakat tapi jugs seorang yang faqih dalam agama. Pemimpin itu dipilih oleh sebuah lembaga syuro yang diisi oleh perwakilan masyarakat yang diakui kredibilitas dan keislaman mereka. Dengan peinimpin nagari yang seperti itu diharapakan yang bersangkutan punya visi ilhiah untuk membawa masyarakatnya menuju keselamatan di akhirat, sekaligus visi duniawi yang tahu cara bagaimana masyarakatnya bisa hidup damai dan sejahtera di dunia ini.
Dengan wali nagari yang bervisi ilahiah diharapan dia bisa menjadikan Al-quran dan hadist secara tegas sebagai sumber hukum tertinggi takkala nagari menetapkan peraturan nagari yang mengikat semua unsur dalam nagari itu. Diharapkan, implikasi dari penerapan syariat Islam dalam nagari itu kemudian akan terlihat dalam suasana Islami yang terbangun secara kondusif di nagari. Kita membayangkan, nagari qurani itu akan dihiasi dengan akhlak Islami yang indah dari segenap penghuninya. Masjid sebagai sentral aktifitas anak nagari selalu hidup dengan berbagai kegiatan keislaman, tidak hanya dalam bulan Ramadan namun setia saat. Masyarakat hidup bernagari dengan rukun dan damai dibingkai oleh suasana ukhuwah Islamiah yang kental. Barek samo dipikua, ringan samo di jinjiang, tatilantang sama makan angin, tatilungkuik samo makan tanah, tidak hanya sekedar ungkapan retoris, tapi betul-betul terlihat secara real dipraktekkan.
Lebih jauh, di nagari itu kita membayangkan masyarakat hidup dengan aman dan tenang jauh dari perbuatan maksiat. Kalaupun ada maksiat, namun maksiat itu dibasmi dengan hukum yang tegas yang bersifat mendidik dan menyelesaikan permasalahan. Hukuman sosial dalam bentuk pembuangan seseorang dari nagari ketika yang bersangkutan melakukan tindakan maksiat, seperti zina, selayaknya dipertimbangkan kembali untuk diterapakan. Kalaupun hukum positif Indonesia belum memungkinkan hukuman rajam untuk yang berzina, atau potong tangan bagi yang mencuri, tetapi sekali lagi, di nagari qurani itu harus dicari hukuman alternatif yang tegas dan mendidik bagi setiap tindak kejahatan dan maksiat.
Sekali lagi, penulis berkeyakinan hanya dengan kembali ke nilai-nilai Islamlah Minangkabau bisa kembali menemukan jati dirinya. Tentu saja, untuk sampai pada keadaan yang kita inginkan ini tidaklah semudah mengucapkannya. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua unsur untuk menjadikan impian ini menjadi kenyataan. Masalahnya, siapa yang mau memulainya? Mungkinkah gubernur terpilih mendatang? Wallahu a 'lam bissawab
Afrianto Daud, S.Pd Anak Nagari Barung-Barung Belantai, tinggal di Sungayang Batusangkar anto_pasisia@yahoo.com