Jalan ke Lintau dan Mental Birokrat Kita
Oleh Afrianto Daud
Padang Ekspres, Sabtu, 14-Januari-2006, 03:38:05
Lintau, barangkali dulu tidak banyak orang yang mengenal nama daerah ini, apalagi yang pernah pergi ke kecamatan yang terletak agak jauh dari pusat Kota Batusangkar (lk 40 km dari Batusangkar). Namun hari ini saya pikir Lintau telah makin populer dan bahkan telah masuk dalam perbendaharaan kosa kata nasional.
Hal ini bisa dipahami ketika Lintau menjadi daerah yang tak bisa dipisahkan dari nama beberapa tokoh nasional. Di antara tokoh itu misalnya Dr. Fasli Jalal, seorang pejabat di lingkungan Depdiknas yang beberapa kali berkunjung ke tanah leluhurnya ini. Kemudian, Lintau juga makin dikenal ketika mantan bupati Tanahdatar, Masriadi Martunus, putra kelahiran Lintau, yang dianggap sukses memimpin daerah ini sampai dikukuhkan sebagai bupati paling berhasil menjalankan otonomi daerah. Apalagi ketika Jusuf Kalla menjadi orang nomor dua di Republik ini, Lintau makin diketahui banyak orang karena istri Jusuf Kalla, Ny Mufidah, adalah anak “rang Lintau” asli.
Sekarang, ketika Jusuf Kalla berkunjung ke Sumatera Barat, hampir bisa dipastikan dia akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke Lintau menjenguk “tanah kelahiran” istrinya itu. Maka semenjak itu, jalan ke Lintau telah menjadi salah satu jalan yang bakal ditempuh rombongan kenegaraan yang terhormat itu.
Bagi mereka yang pernah pergi ke Lintau melewati jalan Puncak Pato tentu sudah sangat paham betapa jalan menuju Lintau sangat mengasyikkan sekaligus penuh tantangan. Perjalanan ke sana menyenangkan karena kita bakal bertemu dengan suasana pegunungan yang sejuk dengan pemandangannya yang indah, namun perjalanan itu menjadi sangat menantang (untuk tidak mengatakan sangat berbahaya) karena jalan menuju ke situ penuh tanjakan dan kelokan patah. Tanjakan dan kelokan itu diperparah oleh badan jalan yang relatif sempit dan kondisi jalan yang (dulu) banyak yang berlubang. Apalagi di kanan kiri jalan tumbuh subur semak belukar dengan berbagai jenis tumbuhan yang sangat mengganggu karena menghambat pandangan pemakai jalan.
Dengan kondisi tersebut, sangat mungkin jalan menuju Lintau rawan kecelakaan. Sebagai seorang yang hampir setiap hari menempuh jalan ini, saya berkali-kali hampir mengalami nasib naas di perjalanan karena motor saya “basirobok” dengan kendaraan lain di beberapa tikungan patah yang kanan kirinya ditumbuhi semak belukar tinggi.
Sebenarnya hal itu tidak harus terjadi kalau semak belukar yang tumbuh subur itu dibersihkan secara berkala sehingga penglihatan pemakai jalan tidak harus terganggu. Tapi, untunglah ketika rombongan wakil presiden dijadwalkan untuk pergi ke Lintau, jalan ke Lintau tiba-tiba berubah. Jalan yang berlubang ditambali dan semak belukar itu dibersihkan sehingga jalan ke Lintau kelihatan sangat berbeda dengan biasanya.
Mudah dimegerti kenapa jalan ke Lintau tiba-tiba berubah. Tentu saja karena ada “orang besar” yang mau lewat. Hal ini terjadi berkali kali. Sehingga ada orang Lintau yang bilang, “inilah untungnya Jusuf Kalla jadi wapres, sehingga kalau dia ke Lintau, jalan kita menjadi bersih seperti ini”. Berarti kalau JK tak pernah ke Lintau, jangan harap bertemu jalan yang nyaman sekaligus aman untuk ditempuh.
Saya tak kan bercerita tentang jalan ke Lintau ini lebih jauh. Namun yang ingin saya kritisi dari fenomena jalan ke Lintau ini adalah terkait dengan mentalitas para birokrat kita hari ini. Instansi terkait sangat perhatian dengan kenyamanan dan keselamatan rombongan wapres yang hanya numpang lewat beberapa menit, tapi seperti tak mau peduli dengan keselamatan “rakyat badarai” yang melewati jalan itu saban hari. Kalau begitu untuk apa masyarakat harus bayar pajak bangunan dan berbagai macam iuran kepada negara ini?
Zaman boleh saja berubah, rejim boleh saja berganti, tapi sepertinya mentalitas para birokrat kita tidak banyak mengalami perubahan. Kenyataan ini memaksa saya untuk tetap berkesimpulan bahwa birokrat kita masih terjangkiti virus “ABS” (Asal Bapak Senang). Sekalipun gerakan “good governance” telah dihembuskan sejak era reformasi bergulir, yang salah satu intinya adalah birokrat sesungguhnya pelayan rakyat, namun kecendrungannya sampai hari ini mereka masih saja lebih berkhidmat kepada atasan, sementara rakyat sering hanya dijadikan sebagai objek penderita.
Fenomena penyakit Orde Baru itu masih sering kita temui di banyak instansi pemerintah.yang lain. Sepertinya “permimpin adalah pelayan rakyat” hanyalah adagium kosong yang ada dalam teori buku buku tentang administrasi pemerintahan dan masih sangat jauh dari kenyataan.
Sampai hari ini betapa rakyat masih merasakan kesulitan berhubungan dengan aparat pemerintah. Jangankan untuk berharap kepada pemerintah agar memperhatikan kenyamanan fasilitas publik semisal jalan raya di atas, bahkan untuk mengurus selembar KTP, SIM, atau Surat Izin Usaha, kita tetap saja harus menunggu waktu yang lama kecuali kita harus bayar melebihi aturan yang sebenarnya. Birokrat kita masih mempraktekkan motto lama “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”, padahal seharusnya “kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit”.
Namun potret buram birokrasi kita itu akan terlihat sangat berbeda takkala yang berurusan adalah “orang besar” atau pejabat penting. Semuanya terlihat begitu mudah dan bahkan sangat dipermudah. Sesuatu yang sebelumnya berbelit-belit, tiba-tiba bisa menjadi sangat sederhana. Kantor yang sebelumnya berantakan bisa kemudian menjadi sangat bersih tak kala ada “orang penting” datang. Pegawai yang sebelumnya malas-malasan bekerja akan terlihat sangat rajin apabila ada atasannya.
Pada sisi lain, para pejabat sepertinya begitu menikmati ketika dihormati berlebihan. Istri saya yang bekerja di rumah sakit pernah cerita ketika antrian berobat sedang panjang, tiba-tiba datang seorang pejabat juga untuk berobat. Tanpa merasa berdosa sang pejabat tersebut “menyerobot” antrian dan minta dilayani terlebih dahulu. Menyebalkan memang! Tapi itulah kenyataan mentalitas pejabat kita. Merasa paling pantas untuk dilayani dan diisetimewakan.
Kalau mentalitas ini tetap dipertahankan, maka harapan untuk mendapatkan pimpinan yang betul-betul berempati dengan nasib rakyat masih sangat jauh dari kenyataan. Karena itu diperlukan pergantian generasi kepemimpinan secepatnya. Kita merindukan sosok kepemimpinan Umar bin Abdul Azis yang sangat peka dengan hak-hak rakyatnya, kita mengimpikan sosok Abu Bakar Siddik yang siap turun di waktu malam memonitor rakyatnya, tentu saja kita sangat (sekali lagi sangat) mendambakan lahirnya pemimpin dengan sosok Rasulullah yang hidup sederhana dan mengabdikan semua detik kehidupannya untuk kemaslahatan ummatnya bahkan sampai beliau menjelang sakaratul maut. Tapi, sampai kapan? Wallahu a’lam.
*Afrianto Daud, Kandidat Master of Education, Monash University Australia
5 comments
commentsAss.Mr Anto, Maju terus, Mudahan2 Bs memberikan Yg Terbaik buat MAN 3 BSK
Replyfirst, I'm Coni.
ReplyI think this is a great post about Lintau, my hometown.
I agree with you about the "birocrazy" in Lintau. but, I think it happens not only in lintau but also in many districts all over Indonesia.
By the way, you 'r a lecturer. right? how is your study in Australia? is that awesome?
nice to know you!
keep going!!!
proud to be Lintau. see ya
Hallo,meski ambo bukan rang Lintau tapi masih dari Luhak nan Tuo takajuik juo ado tulisan dari dan tantang kampuang. Nan takana dek ambo yaitu kritikan salalu ditulis bantuak diateh. Salalu dicaritokan agak baputa saketek dan baru ditulis nan sabananyo. Muncul ide ambo baa kalau ditulis bana : pamarentah seharusnyo taruih manjago jalan barasiah dari rumpuik dan samak dujalan sakitar puncak pato nan sabananyo pamandangan rancak bana. Baa kiro-kiro?
Replylintau yoo tambah keren kini koooooooo
Replyambo ughang lintau lo nye
kotu pak kala potang kampanye namo lintau lai di sobuik2 dek e nye