Terlebih dahulu saya ingin mengajak diri saya sendiri dan hadirin sekalian untuk kembali merenungkan dan bertanya bagaimana kondisi benih iman yang insyaallah sudah ada dalam dada kita. Kalau kita temukan iman kita dalam keadaan keadaan lemah, maka mari kembali kita sirami dan kita kuatkan benih iman itu dengan cara meperbanyak taqarrub kita kepada Allah SWT dan senantiasa bertobat atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Satu hal yang kita yakini adalah bahwa hanya dengan modal iman itulah kita bisa selamat dalam arti yang sesungguhnya, baik dalam hidup kita di dunia maupun di akhirat kelak.
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Pada jumat kali ini saya ingin kembali mengingatkan kita tentang satu hal yang sepintas barangkali terdengar sederhana di telinga kita tapi memiliki peran sangat mendasar dalam prosesi ibadah kita kepada Allah SWT, yaitu terkait dengan Ikhlusunniat Dalam Beribadah[1]. Sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW memperingatkan ummatnya, Tajdidu niyatakum, “Perbaharuilah niatmu!” Maka pemilihan topik ini dalam khutbah kali ini adalah bagian dari usaha kita untuk selalu memperbaharui niat kita dalam beribadah kepada Allah SWT.
Saya berkeyakinan bahwa hampir semua kita mengetahui bahwa niat yang ikhlas merupakan syarat utama diterimanya setiap ibadah kita kepada Allah SWT, disamping sayarat lain yaitu bahwa kita beribadah sesuai dengan ajaran dan tuntunan Allah dan Rasulnya.
Dengan demikian, sesungguhnya kita sangat paham bahwa betapapun banyak dan besarnya amalan yang kita lakukan secara kuantitas, betapapun di mata manusia kita terlihat seperti orang yang sangat shalih, namun semuanya tidak akan berarti apa-apa dimata Allah SWT kalau kita tidak melakukannya dengan ikhlas kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, saudaraku, betapapun kita telah melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh, berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah.
Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengajarkan ilmu, tapi kalau hanya ingin disebut orang pintar, juga tak ada nilai. Bahkan ke masjid setiap haripun, tapi bukan Allah yang dituju, hanya ingin disebut orang yang shaleh oleh manusia, maka itu semua tidak bernilai di hadapan Allah. Tidak bernilai!
Ayat-ayat Allah dalam Alquran dan hadist Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Dalam surat Al-Muluk ayat 2, misalnya, Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT tidak melihat kuantitas amal kita, tapi yang Allah justru lihat adalah bagaimana kualitas amal tersbut. Sebagaiamana Allah SWT berfirman;
Allazi khalakal mauta wal hayata Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala
“Yang akan menguji kamu, siapa yang paling baik amalannya”
Allah bukan berfirman,
allazi khalakal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum aksaru ‘amala”
Syeikh Al Fudhail bin Iyadh dalam tafsirnya menjelaskan makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).
Dalam ayat lain Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
Wama umiru illa liya'budullaha mukhlisiinalahuddiin hunafaa wa yukiimussalata wa yuktuzzakata wa zaalika diinulqaiimah (Al-Bayyinah:5)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).
Saudara-saudara kaum muslim,
Apa itu ikhlas? Ada banyak defenisi dengan berbagai redaksi yang diberikan para ulama tentang makna ikhlas. Tapi esensinya tetap sama. Imam Qusyaery misalnya dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.
Secara umum bisa kita defenisikan bahwa Ikhlas ialah melakukan amalan semata-mata mencari keredhaan Allah swt, tanpa dicampuri dengan tujuan dunia. Dengan demikian, secara sederhana bisa dipahamai bahwa tidak ikhlas berarti melakukan amalan bukan kerena Allah.”
Bagaimana kita bisa mengukur tingkat keikhlasan kita beramal kepada Allah SWT?
Syeikh Yusuf Qardhawi[2] dalam bukunya Niat dan Ikhlas menjelaskan beberapa indikator orang yang ikhlas dalam beramal:
1. Orang yang ikhlas takut kemasyhuran dan sanjungan yang boleh membawa fitnah kepada diri dan agamanya. Inilah yang menjadikan ramai di kalangan ulama’ salafussoleh takut kalau hati-hati mereka ditimpa fitnah kemasyhuran, kemegahan dan sanjungan. 2. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri. 3. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya. 4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi5. Tidak mudah kecewa. Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidak harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercatat dan tidak akan disia-siakan Allah. 6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil 7. Beramal dengan kualitas sama ketika bersama atau sendirian
Saudaraku kaum muslimin,
Saya yakin hampir semua kita paham dengan makna ikhlas ini. Masalahnya adalah barangkali belum semua kita yang mampu menjaga kesempurnaan keikhlasan kita dalam beribdah kepada Allah SWT. Pertanyaan penting berikutnya adalah bagaimana agar kita senatiasa ikhlas dalam beribadah?
Saudaraku, Ikhlas sesungguhnya adalah buah dari tauhid yang benar. Ikhlas hanyalah konsekuensi logis tak kala kita sudah mampu memahami esensi perjanjian dan sumpah kita kepada Allah SWT tak kala kita mengucapkan syahadatain, Asyhadualla ilaha illallah, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah.
Syahadatain itu sesungguhnya akad jual beli kita dengan Allah SWT. Ketika kita secara sadar mengucapakan dua kalimat syahadat, maka sesungguhnya kita telah berjanji, berikrar, dan bersumpah dihadapan Allah bahwa tidak ada ilah selain Allah, Muhammad adalah rasul Allah.
Syakhul Islam Ibnu Taimiah mengartikan ilah dengan kecendrungan, maka orang yang sudah bersyahadat seharusnya dia memposisikan kecendrungannya kepada Allah di atas segala kecendrungan manusia kepada yang lain, seperti kecendrungan terhadap jabatan, kepemilikan harta, wanita, atau pujian dari manusia.
Ketika kita sudah mampu menempatkan Allah di atas segalanya, maka pada saat itulah kita betul-betul akan menjadikan Allah sebagai tujuan kita. Berikutnya insyaallah kita akan mampu benar-benar ikhlas dalam setiap amalan kita. Sebagaimana pernyataan yang kita sebut di hadapan Allah SWT minimal 5 kali sehari semalam ketika dalam shalat kita, kita membaca:
Inna shalati wanusuki wa mahyaya wamamati lillahi rabbil 'alamiin
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah SWT”
Saudaraku, terdapat makna yang sangat dalam pada ungkapan ini. Ungkapan yang saya sebut sebagai jual beli kehidupan kita dengan Allah SWT. Sebuah pernyataan sadar kita di hadapan Allah SWT yang kalau kita renungkan kedalaman maknanya, insyallah yang akan membawa kita ke pintu gerbang ikhlas dalam semua amalan kita.
Sampai disini, kita bisa memahami doa sufiah Rabiah Aladawiah yang terkenal itu, Dimana Rabi'ah Adawiyah berkata dalam do'anya: "Ya Allah andaikan aku beibadah karena aku mendambakan syurga, maka janganlah aku dimasukan kedalamnya; dan andaikan aku beribadah pada-Mu karena aku takut kapada api neraka maka masukanlah aku kedalamnya. Aku beribadah adalah karena hanya Engkaulah yang pantas untuk disembah (dita'ati); Ibadah karana syurga adalah seperti ibadahnya pegawai yang mengharapkan gajih dikhir bulan. Ibadah karena takut neraka adalah seperti ibadahnya hambay sahaya."
Saudaraku kaum muslimin,
Meskipun demikian, perlu saya sampaikan bahwa ikhlas bukan berarti kita tidak boleh memiliki kecendrungan kepada selain Allah, sekali lagi bukan tidak boleh, tapi jangan sampai kecendrungan kita kepada selain Allah itu mengalahkan kecintaan kita kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, menarik bahasa yang digunakan KH. Irsyad Safar, kerja seorang muslim dalam hidup ini adalah menguasai dunia, tapi tujuan kerja itu adalah Allah SWT.
Kemudian, saya juga ingin katakan bahwa pada tataran ideal, ikhlas mungkin bisa bersanding dengan rasa suka, menerima, rela, dan tulus dengan Allah SWT dalam beramal. Namun, pada tataran praktis ikhlas tidak harus selalu equivalent dengan kerelaan dan ketulusan, sebagaimana rela dan tulus juga tidak selalu berarti ikhlas. Adakalanya mungkin kita merasa berat menjalankan perintah Allah SWT. Bangun di tengah malam yang dingin untuk qiyamullail, terus terang cukup berat untuk dilaksankan, tapi ketika kita paksakan diri kita untuk bangkit dari tempat tidur, kita ambil wudhu demi menghadap Allah SWT, insyallah keterpaksaan karena Allah SWT itu tetap dinilai sebagai bentuk keikhlasan kita dalam beramal.
Terakhir saya ingin mengajak kita semua terutama saya sendiri untuk mengintrospkesi bagaiamana kualitas keikhlasan amal kita kepada Allah SWT. Hendaklah kita selalu khawatir tentang tidak diterimanya amalan kita karena ada noda riya, ujub, sum’ah di dalamnya. Semoga kita semua temasuk hambaNya yang mukhlisin. Semoga Allah tetap menjaga hati kita dalam beribdah kepadanya. Semoga Allah kumpulkan kita semua di sorganya kelak bersama para mukhlisin yang lain. Amin ya rabbal ‘alamin.
[1] Khutbah ini disampaikan penulis di hadapan masyarakat muslim Indonesia Victoria Australia, Masjid Westall, Jumat, 24 Maret 2006
[2] Yusuf Qardhawi adalah seorang ulama kontemporer yang dikenal moderat dalam fatwanya. Beliau bermukim di Mesir.
1 comments:
commentscongratulation
Reply